Rabu, Desember 05, 2007

STOP GLOBAL WARMING

....

Aku Juga Meminta:...

Buatlah aku menjadi seorang pria yang dapat membuat perempuan itu bangga dan bahagia.


Berikan aku sebuah hati yang sungguh mencintai-MU, sehingga ku dapat mencintainya dengan cinta-MU, bukan mencintainya dengan sekedar cintaku.


Berikanlah Roh-MU yang lembut sehingga ketampananku datang dari-MU bukan dari luar diriku. Berikanlah aku tangan-MU sehingga aku selalu mampu berdoa untuknya.


Berikanlah aku mata-MU sehingga aku dapat melihat banyak hal yang baik dalam dirinya dan bukan hal buruk saja.


Berikanlah aku mulut-Mu yang penuh dengan kata-kata kebijaksanaanMU dan pemberi semangat, sehingga aku dapat mendukungnya setiap hari.


berikanlah aku bibir-MU dan aku akan tersenyum padanya setiap pagi.


Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan "betapa besarnya Tuhan itu karena Engkau telah memberikan kepadaku seseorang yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna". aku mengetahui bahwa engkau kami bertemu pada waktu yang tepat dan Engkau membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang KAU tentukan......


Amin.....

Rabu, November 28, 2007

Prof. Parsudi Suparlan, Kenangan dalam 5 batang rokok

5 Batang Rokok,.....kuliah pun Selesai..
(Coretan Untuk Macan Antropologi
)
Nana Sutisna, S. Sos

Selamat Jalan Profesorku
selamat Jalan Guruku

Ketika Kamis pagi sedang menuju kantor, tiba-tiba pikiran saya menerawang tentang kenangan kuliah di antropologi, khususnya tentang antropologi agama yang di asuh oleh Prof. Parsudi Suparlan. Ketika sampai kantor, ada sebuah pesan singkat yang sampai di ponsel saya, ketika saya membaca ternyata sebuah kabar duka tentang kepergian salah satu Antropolog Indonesia. Prof. Parsudi Suparlan telah pergi. mendengar kabar tersebut seakan saya tak percaya, yang akhirnya saya mengkonfirmasi kepada beberapa kawan, apakah benar berita yang saya terima ini???..Kita telah kehilangan "Dewa" Antropologi.

Kuliah dan Gudang Garam Merah.
Buktikan Merahmu..

Kuliah Antropologi Agama, adalah pertemuan pertama saya dengan Prof. Parsudi Suparlan. Berawal dari kuliah inipulalah yang akhirnya saya merampungkan keantropologian saya dengan skripsi mengenai antropologi Agama. Teramat banyak cerita yang muncul ketika mengenang kuliah-kuliah dengan Prof. Parsudi Suparlan. Dengan suara tawa yang khas, seakan-akan beliau mengurung kita dalam kengerian sebuah ilmu. ketakutan-ketakutan selalu membayangi, takut bertanya, takut ditanya..Namun ada seorang kawan selalu berujar "kuliah sama Pak Parsudi walau menegangkan, tapi ketika keluar kelas otak terisi penuh."
Prof. Parsudi Suparlan, sebuah perlambangan tentang konsistensi seorang ilmuwan, dengan gaya nyentrik, tegas dan menusuk membuat mahasiswa-mahasiswa selalu "ngeri" dan selalu bersiap jika ingin mengadapi beliau. 4 semester saya menjadi Asisten mahasiswa untuk beberapa mata kuliah yang diasuh oleh Prof. Parsudi Suparlan, di sela-sela "manemani" itu akhir saya banyak belajar tentang sesuatu yang lain lebih dari sekedar ilmu antropologi. tentang Kecintaan terhadap Antropologi, tentang integritas dalam menjadi Pengajar, tentang kebanggan menjadi Antropolog, tentang peranan yang besar antropologi dalam pembangunan, tentang menjadi satu dalam masyarakat.
Di dalam kengerian-kengerian tersebut, saya masih dapat menyaksikan hal-hal yang tak mungkin terlupakan bagi saya dan teman-teman saya, cara beliau mengajar. Kalau beliau mengajar, ruang kelas seperti sebuah pemakaman suasana hening, setiap mahasiswa menyibukan dirinya dengan berbagai macam buku, seraya berbicara dengan buku. Selalu di mulai dengan menyalakan sebatang rokok kretek Gudang Garam Merah, walaupun ruang kelas tersebut ber AC, lalu mulai menunjuk mahasiswa-mahasiswa yang duduk dibelakang untuk menjawab beberapa pertanyaan beliau, dan jawaban mahasiswa tersebut tidak pernah memuaskan beliau, dan selalu dibalas dengan tertawa yang "mengerikan". Tidak ada buku diatas meja beliau, karena diawal mulai kuliah beliau selalu memberi beberapa buku bacaan yang wajib di baca, yang akan dipergunakan sepanjang perkuliahan. Yang selalu ada di ats meja beliau sewaktu mengajar adalah kumpulan sampah-sampah kretek yang selalu dikumpulkan olehnya. Ketika beliau menyalakan gudang garam merah yang ke5 batang, semua mahasiswa mulai dapat menghela nafas..ini suatu tanda bahwa kuliah dengan Prof. Parsudi akan segera berakhir....
Skripsiku 2 Jam.
sejak mengikuti kuliah-kuliah beliau, saya memang sudah terbius untuk mencuri ilmu dari "sang macan" ini. Menjadi asisten mahasiswa Untuk mata kuliah Prof. Parsudi merupakan kesempatan yang baik untuk saya, namun yang terjadi adalah perjuangan mental bagaimana saya harus menghadapi "dewa" yang arogan. Sampai pada akhir untuk menyelesaikan kesarjanaan saya, maka skripsi adalah perjuangan akhir yang harus diselesaikan. Kuliah-kuliah seminar saya ikuti dan perlahan-lahan saya mulai mendekati Beliau lagi. Ketika setelah sidang RD (Research Design), saya meminta beliau menjadi pembimbing skripsi saya namun jawaban beliau adalah "silahkan besok saudara datang jam 2 siang di Pasca sarjana"..... (bersambung)

Kamis, November 15, 2007

Gus Dur dan Aku

Kebebasan berpikir

Lingkungan sosial budaya yang kita dihadapi sangat beragam. Ada yang berjalan sesuai dalam arus pemikiran kita dan ada juga yang bertentangan. Persoalan-persoalan demikian akan dihadapi dalam segala kondisi pada lingkungan sosial budaya kita.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah bagaimana kita memahami kondisi sosial budaya yang beragam dalam lingkup kebebasan kita sebagai manusia. Berbicara tentang kebebasan, dalam konteks masyarakat Indonesia, saat ini mendapat tantangan keras dengan terjadinya pro dan kontra mengenai pemahaman kebebasan ini. Terdapat dua hal yang ingin coba dilihat dalam sebuah perpektif kebebasan, yakni kebebasan berpikir yang terimplemtasi dalam berpendapat atau melontarkan ide-ide serta pemikirannya dan yang kedua adalah kebebasan dalam bertindak. Untuk memahami kebebasan dalam lingkup masyarakat yang cukup beragam dalam hal ini Indonesia, inlah uraian singkat perbincangan Nana Sutisna dengan Bapak KH. Abdurrahman Wahid (64) atau biasa dikenal dengan Gus Dur, seorang tokoh nasional dan juga Presiden Republik Indonesia ke – 4, yang selalu berkecimpung dalam pembahasan tentang Demokrasi, Pluralisme serta Multikulturalisme.

Masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat yang multikultural, hal ini bukanya sebagai sebuah konsep di atas kertas tapi adalah sebuah pemikiran yang dituangkan oleh para pendiri bangsa ini yang pada akhirnya menjadi Undang-Undang Dasar sebagai suatu pedoman dalam bernegara serta bermasyarakat. Gus Dur menilai bahwa dalam memandang masyarakat dan budaya Indonesia kita harus merujuk pada Undang-undang Dasar sebagai acuan kita dan menurut konsepsi negara kita bahwa masayarakat Indonesia adalah masyarakat dengan budaya yang multikultur. Dalam pemahaman ini ada suatu keragaman dan ekspresi budaya yang tumbuh dan berkembang, oleh karena berdasarkan hal tersebut maka munculah suatu kebebasan dalam masyarakat yang mengekspresikan budayanya dalam bentuk ide-ide atau pemikiran dan serta ekpresi-ekpresi tindakan.

Gus Dur memandang bahwa harus dibedakan kebebasan dalam mengekspresikan pemikiran dengan kebebasan yang langsung pada tindakan atau perilaku. Dalam membedakan inipun tidak lepas dari acuan dari pedoman bernegara dalam hal ini Uudang-undang dasar. Negara menjamin setiap pemikiran yang ada, namun kalau tnndakan harus dilihat lagi apakan tindakan itu sudah sesuai atau tidak dengan Undang-Undang dasar kita “ tutur Gus Dur.”

Dalam era sekarang Gus Dur berpendapat bahwa kebebasan kita sudah mulai terancam, dengan munculnya kelompok-kelompok yang ingin membuat Indonesia tergantung pada kelompok tertentu saja dan seolah-olah kebenaran hanya milik satu kelompok saja. Kebebasan dalam negara sudah ditundukan kepada kekuasaan.

Rabu, November 14, 2007

Refleksi Pendidikan


Pendidikan itu membebaskan:
Refleksi Pendidikan
Nana Sutisna

(
Antropologi-UI)

Paulo Freire (Politik Pendidikan;1999): “panggilan sejati manusia (Man’s ontological Vocation) itu adalah menjadi pelaku, bukan penderita yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya, maka panggilan manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas”.

Tanggal 2 Mei bangsa Indonesia mengenalnya dengan hari pendidikan Nasional. Apakah tujuannya hanya untuk mengenang tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara? Saya pikir tidak, ada yang lebih dari itu, bagaimana bangsa ini selalu diingatkan tentang realiatas dunia pendidikan dari masa ke masa.

Saya ingin mengingatkan bahwa bangsa ini mempunyai suatu tujuan yang mulia tentang rakyatnya, bagaimana pendiri bangsa ini merumuskannya dalam pembukaan UUD 1945 sebagai suatu tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak hanya itu bangsa ini mengaturnya dalam UU sistem pendidikan nasional, UU no 20 tahun 2003 tersurat dengan jelas bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Berdasarkan pada UU yang telah di buat dan langsung melihat pada kenyataan dilapangan, maka saya akan berkata bahwa saya kecewa dengan bangsa ini dalam hal pendidikan. Kewajiban pemerintah dalam hal menyelenggarkan pendidikan dasar pun saat ini masih sangat jauh dari harapan. Masih banyak anak negeri ini yang belum tersentuh oleh dunia pendidikan, selain itu juga anggaran pendidikan di dalam APBN ataupun APBD saat ini masih di bawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 hingga saat ini anggaran pendidikan kita hanya 4-6% saja.

Saya pernah beberapa kali melakukan penelitian lapangan ke daerah, keluar dari Jakarta, yang ada adalah keperihatinan saya terhadap sarana pendidikan yang ada di daerah, saya pernah berada di pinggiran laut di Sidorajo, sebuah daerah pertambakan, sarana sekolah hanya ada gedung SD yang terbuat dari kayu, sarana sekolah lanjutannya harus kekota dan itu membutuhkan waktu yang lama itupun dengan ojek dan masih banyak anak yang berusaha untuk sekolah dengan menumpang mobil truk pasir. Memperihatinkan. Kondisi di pingiran Sidoarjo ini tidak jauh berbeda ketika saya berada di kepulauan Riau, Pulau Tebing Tinggi, dan Tanah Grogot, Kalimantan Timur. Hal yang disebutkan di atas merupakan sesuatu yang dapat saya lihat, bicara pendidikan dari sisi sarana. Bagaianmana jika kita melihat pendidikan Indonesia dari sisi kualitas pendidikannya?

Mengungkapkan mengenai apa yang ditelah dihasilkan secara kualitas, maka saya akan berkata kualitas pendidikan nasional kita adalah kualitas pendidikan Indonesia hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada saat ini menurut pendapat saya hanya membuat anak didik itu pintar akan tetapi tidak cerdas. Seperti yang diungkapkan oleh DR.Arief Rahman, Pakar pendidikan, bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia dinilai “malas” untuk mengukur hal-hal yang lebih bersifat holistik. Selama ini penilaian terhadap anak didik hanya berdasarkan kecerdasan intelektual (kepintaran), bukan pada aspek-aspek lain seperti Spiritual, Emosional, Sosial maupun Jasmani.

Pembunuhan kreatifitas dan berkarya dalam pola yang terjadi di sistem pendidikan Indonesia lebih disebabkan karena adanya paradigma dalam pemerintah yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang saat ini sedang gencar-gencarnya di Indonesia. Indikator kepintaran yang dipakai menurut pendapat saya merupakan bentuk eksploitasi pemikirin dari anak didik, sehingga yang terjadi adalah penjejalan ilmu sebagai suatu barang jadi. Sistem pendidikan ini dalam pandangan Paulo Freire disebut dengan “sekolah model bank”. Sekolah model bank’ adalah istilah Freire untuk sekolah-sekolah formal pada umumnya yang seolah menabung dan menjejali ilmu pengetahuan sebagai barang jadi bagi para murid. Dalam sekolah model bank ini murid hanya penerima pasif dari ilmu yang sudah jadi, baku, dan tidak menyentuh kehidupan nyata sehari-hari mereka.

Jika pendidikan dibiarkan hanya mengunakan indikator kepintaran, seperti Ujian-ujian yang dilaksanakan, mengukur seorang mahasiswa dari Indek Prestasi (IP), maka itu menurut saya merupakan bentuk eksploitasi, bentuk pendidikan yang menindas bukan pendidikan yang membebaskan. Saya tidak keberatan IP menjadi ukuran, akan tetapi bukan hanya IP, harus diukur secara holistik semuanya, seperti apa yang diungkapkan DR. Arif Rahman.

Pendidikan janganlah dibiarkan menjadi suatu yang komersil, kalau seperti ini maka pendidikan hanyalah bagi mereka yang mempunyai ekonomi yang kuat, sedangkan bagi mereka yang miskin pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Saya sangat merasakan bahwa pendidikan di indonesia itu sulit di jangkau oleh masyarakat miskin, dan pendidikan semakin meminggirkan kaum kelas bawah. Sebaiknya kita harus mulai bertanya kepada penguasa negeri ini, sudahkan mereka mereka membaca dan memahami serta mengimplementasikan apa yang telah diamanatkan oleh founding father dalam UUD 1945 tentang tujuan negara ini...?

Paulo Freire menawarkan suatu alternatif mengenai pendidikan yang membebaskan bukan suatu pendidikan yang menindas.Solusi yang ditawarakan Paulo Freire, terlebih untuk mengatasi problema penindasan adalah model pendidikan yang membebaskan yang disebutnya sebagai konsientisasi (kesadaran). Konsientisasi mengacu pada proses dimana manusia, bukan sebagai resipen tetapi sebagai subyek yang mengetahui, menyadari secara mendalam kenyataan sosio-kultural yang membentuk kehidupan mereka dan kemampuan untuk merubah kenyatan itu sendiri.

Pola pemikiran Paulo Freire ini tentang kesadaran ini tidak terlepas dari pengaruh teologi pembebasan di Amerika Latin. Bagaimana para rohaniawan itu meninggalkan kemapanan gedung paroki untuk tinggal dikampung kumuh guna menghayati kemiskinan dan seraya mengajak masyarakt untuk belajar memperjuangkan haknya, yang pada akhirnya menjadi suatu pemikiran dan gerakan tersendiri yang di kenal dengan Teologi Pembebasan.

Paulo Freire tidak hanya berpikir tentang alternatif pendidikan yang membebaskan tapi juga turun langsung ke masyarakat menghabiskan waktunya beberapa tahun di Guenia-Bissau, Afrika Barat, untuk bersama-sama belajar bersama masyarakat dan mencari sistem pendidikan yang sesuai bagi kondisi khas masyarakat tersebut. Saya berpendapat bahwa kita dapat belajar dari apa yang dipikirkan serta yang dilakukan oleh Paulo Freire, kalau memang kita (kaum intelektual dan kelas menengah) merasa terpanggil untuk melakukan pembebasan, maka aksinya tidaklah dilakukan di atas menara gading yang steril.

Baruch de Spinoza (1632-1677) “Sebuah batu di udara dapat merasa bebas jika ia melupakan tangan yang melemparnya,”

Adik Lelakiku

Qalam Averoes Gibran


Ketika matahari mulai menuju peraduannya, maka kemegahan siang tergantikan sudah oleh keelokan malam. Perlahan dengan sangat pelan sang rembulan mulai memberikan cahaya redupnya untuk membantu menyinari serta menambah keindahan malam.

Keindahan malam ini lah yang juga menemani kehadiran seorang adik laki-laki, yang akhirnya hadir ke dunia untuk mulai menapaki kehidupan dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Rembulan malam juga yang memberikan cahaya eloknya untuk kehadiran sang Adik ke dunia ini.

Qalam Averoes Gibran, sebuah nama yang akhirnya di lekatkan kedalam diri adik laki-laki ini. Asa dan harap muncul seiring dengan kemegahan nama yang ada di dalam dirinya. Sebuah coletah pun keluar: “baru saja melihat dunia, yang sudah lama di dunia memberikan harapannya kepada yang baru, memang ada apa dengan harapan yang sudah lama dunia”. Coletahan ini merupakan ungkapan yang sama dalam semua dimensi kehidupan; “sebuah suara kecil di dalam hatiku”.

Qalam Averoes Gibran, dua orang manusia dengan satu suara, itulah adik laki-lakiku. Suara tentang kemerdekaan berpikir, rasionalitas tingkah laku beragama, dan tetap mengumandangkan kebesaran Ilahi. Suara tentang Toleransi, Cinta, Keindahan serta Perdamaian.

Selamat Datang Di Dunia....

Senin, November 12, 2007

PERSINGGAHAN

P e r s i n g g a h a n . . .

Hari ini hujan begitu deras mengguyur kota Depok, yang membawa pada
perenungan serta menyadari bahwa kota inipun adalah tempat
bersinggah. Seiring dengan berbagai pengalaman serta perjalanan
kehidupan menghadirkan bermacam makna yang hadir di Kota ini.

Tujuh tahun sudah waktu yang dihabiskan di kota ini, beragam cerita
mengalir dalam detik-detik kehidupanku. Mulai dari pengembaraan
intelektual, perjalanan persahabatan atau romansa percintaan
memberikan makna dan kisahnya sendiri yang menemaniku di kota ini.

Depok, kota yang telah menemani untuk perjalanan kehidupanku. Kota
yang memberikan pandangan-pandangan serta pemahaman baru tentang
segala hal, negara, agama, cinta serta hal-hal yang lain memberikan
paradigma lain dalam berpikir.

Pertarungan intelektual, pergulatan pemikiran, dan konflik ego, telah
hadir di kota ini dalam memberikan evaluasi-evaluasi kedewasaan,
koreksi-koreksi perilaku serta revolusi pemikiran.

Tujuh tahun sudah "mereka" hadir dalam menemaniku. Akhirnya menyadari
bahwa ini sebuah persinggahan. .. Sebuah fase baru telah menanti untuk
mulai di tapaki, sebuah pendalaman atas apa yang di tempuh dalam
persinggahan. Kota ini memberikan seluruh rasanya pada aliran darah
dalam tubuh ini, kota ini pula telah memberikan sebuah kecintaanya
atas sebuah pengalaman hidup, dan kota ini pula yang mencoba
memberikan perhatiannya atas sebuah kedewasaan.

Tujuh tahun sudah.......

Depok...sebuah pengembaraan hidup.....

Nana Sutisna.

Selasa, November 06, 2007

Selamat Jalan ABAH ANOM

Pagi ini Aku dibangunkan oleh sebuah bunyi SMS, yang cukup membuatku untuk mengusap-usapkan mata. Kabar duka yang aku terima di Pagi hari, seorang kawan mengabarkan bahwa Abah Anom Sesepuh Adat Kasepuhan Banten Kidul telah pergi...menghadap yang maha Kuasa.


Banyak Cerita yang aku dapatkan dalam mengenang perjalanan-perjalananku ke tempat Abah Anom. Perjalanan mendaki lereng-lereng pegunungan dengan mengandarai mobil jeep Hartop adalah cerita paling khas ketika menuju Desa Cipta gelar.


Perjalanan Pertamaku ke tempat Abah, berjalan kaki dari Desa Cicemet yang berada di bawah gunung tersebut, dengan gaya seperti petualang, kerikil-kerikil batu aku lewati sempat beristirahat sebentar di sungai untuk membasahi kepala...namun apa yang terjadi ternyata organ-organ biologis tubuh tidak bekerjasama dengan baik...ya Aku Muntah..sebuah pengalaman, muntah yang memberikan hikmah dan logika berpikir tentang sebuah jarak yang jauh.


Sampai di Desa Cipta Gelar, kita akan selalu ingat dengan Debus, makan bersama di Imah Gede, belajar membuat gelang, kesenian pencak Silat dari gerombolan Bocah Siluman, dan yang pasti Buncis. Sayur buncis akan selalu kita nikmati...


Di Desa ini pula keceriaan-kecerian tentang romansa hati pernah bermain bersama-sama dengan iringan musik khas daerah pasundan, dengan kemeriahan sebuah perayaan, serta pertanyaan tentang hormonisasi dengan alam.


Photo By www.indo.com
Selamat Jalan Abah Anom...

semua hal yang pernah aku rasakan menjadi catatan dalam kebahagian hati.

Selasa, Oktober 23, 2007




Ilmu Pengetahuan: IDEOLOGIS APA HUMANIS?

Nana Sutisna
(Antropologi –UI)
Michel Foucault: “Jangan Tanya Siapa aku, jangan memintaku untuk tidak berubah”




Pada hakekat tingkatan ilmu adalah sejajar tidak ada yang lebih rendah dan lebih tinggi. akan tetapi berbicara teori akan lain, karena proses berpikir seseorang berbeda. Sesuatu yang ideal itu tidak kan pernah berubah,
tetapi yang praktis yang selalu berubah. Kita bisa lihat bagaimana Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran) berbicara sangat fasih berbahasa Inggris dengan berbicara tentang globalisasi, kapitalisme dan sebagainya dan itu terjadi tahun 60an, tapi ada kah yang berbeda dengan tahun 2000an, kita masih berbicara globalisasi, kita masih bicara kapitalisme, kita masih bicara modernisme, kita masih berbicara yang ideal tentang dunia ini. Ilmu pengetahuan kalau boleh saya menggunakan perspektif interpretasi budaya dari Clifford Geertz (Tafsir Kebudayaan) tentang kebudayaan adalah “Model Of” dan juga “Model For”. Ilmu pengetahuan masuk dalam “model of reality” suatu acuan tentang penyajian obyek dan begitu pulalah yang ditampilkan oleh ilmu pengetahuan, yang akan bersentuhan dengan kenyataan atau dalam perspektif teori ini dikenal dengan “model for reality”. Dengan berdasarkan pada hal tersebut, maka memang peranan ilmu pengetahuan adalah menciptakan bentuk-bentuk ideal dari tatanan dunia.

Ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai suatu motor besar sejarah unggulnya ilmu-ilmu rasional atas diktuk-diktum yang berskala transcendental, dapat dikatakan bahwa “dalam revolusi kesadaran” maka akan terselip kemuakan-kemuakan logis atas mistifikasi keduniawian dengan mendapuk amukan-amukan saintifik yang diwariskan oleh leluhur kita. Menurut saya akan sangat mu
dah di tebak kemudian, bahwa pengetahuan yang menisbatkan dekonstruksi transcendental berhasil membongkar paham hidup manusia menuju dua dimensi sekaligus. Proyek besar dari ilmu pengetahuan yang membongkar paham hidup manusia, hal ini dalam kalkulasinya Foucault sebagai; pertama, lahirnya kembali manusia yang “sebelum abad ke-19 manusia tidak ada. Manusia adalah penemuan baru….tetapi cepat sekali tua…sepertinya ia sudah menunggu selama ribuan tahun sampai datang penerangan yang membua pada akhirnya ia dikenali…” kedua, Runtuhnya genre manusia itu sendiri yang “mungkin sedang mendekati kematian”.

Menurut saya tidaklah berlebihan, Michel Foucault, seorang Cripto-marxis dan filosop dari Prancis ini mengkalkulasikan ilmu pengetahuan seperti yang disebutkan diatas. Karena dalam
perkembangan pengetahuan hingga munculnya post-strukturalis, ataupun post-kolonialisme bahkan Post-Modernisme, sebuah ilmu pengetahuan terlihat tidak pernah terlepas dari adanya hubungan kekuasaan (power relations), atau yang lebih keras adalah seperti yang diungkapkan oleh Edward said (Orientalisme), “bahwa sains akedemik modern pada hakekatnya adalah sains-sains ideologis yang bersifat politis” hal ini lah menjadikan manusia tidak pernah ada dan manusia mungkin sedang mendekati kematian, seperti apa yang diungkapkan Foucault. Tidak lah terlalu mengherankan jika kemudian Michel Foucault mencoba mencari tahu tentang ide atau ilmu pengetahuan dan pada akhirnya adalah menggugatnya sendiri tentang ide dan ilmu pengetahuan tersebut.

Sebuah ungkapan paling masyhur dari Foucault yang kemudian jadi kebanggaan bagi kalangan akademisi adalah “Knowledge is Power”. Dalam usahanya tersebut tentang ilmu pengetahuan yang pada akhirnya membawanya pada penggugatan terhadap ide atau ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan saya, bahwa ilmu yang mempelajari manusia ataupun membicarakan manusia secara geneologis tidak tiba-tiba lahir begitu saja dalam rahim ilmu pengetahuannya itu sendiri, akan tetapi jauh kebelakang dan merentang ke dalam lubuk keilmuan filosofis yunani, oleh karenanya tidak mungkin menempatkan generalisasi yang menempatkan manusia dalam kanvas tunggal, dan itulah problem keilmuan manusia.

Menggugat ilmu pengetahuan, Foucault sangat percaya bahwa ilmu-ilmu manusia muncul ketika ada upaya mendefinisikan bagaimana sekelompok individu berbicara tentang peradabannya yang mengandung keterikatan sosio-kultural, dalam bahasa Emile Durkheim dikenal dengan konstruksi sosial . Dan kunci ilmu-ilmu manusia bermula dari pemahaman bahasa dan diskursus.
Berbicara ilmu pengetahuan, maka akan terlihat jalan liku mencapai pengetahuan seperti, epistimologi, ontologi, dan sampai pada axiologi. Oleh karena Foucault dalam menggugat ilmu pengetahuan menyebutnya sebagai arkeologi ilmu pengetahuan, yang menelaah pada bahasa dan diskursus, hal ini dilakukan dalam mengenali monumen masa lalu sebagai capaian masa kini dan selanjutnya menuju masa depan...

Dan akhirnya Michel Foucault (The Archeology Of Knowledge) berkata: “Diskursus bukanlah kehidupan: waktunya bukanlah waktu anda; didalamnya anda tidak bisa berdamai dengan kematian; anda barangkali membunuh Tuhan di balik tumpukan-tumpukan apa-apa yang telah anda katakan; tapi sekali-kali jangan bayangkan bahwa, dengan segala hal yang anda katakan, anda bisa membuat seorang manusia bisa hidup lebih lama dibanding jatahnya”. nana sutisna......

Mahasiswa: Dansa Dansi dan Idealisme

Mahasiswa: Dansa Dansi dan Idealisme

Nana Sutisna
(Antropologi-UI)


Soe Hok Gie (CSD): “Kita, generasi kita yang ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, kita yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”


Mei ’98 akan selalu dikenang dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia, dimana seluruh unsur gerakan mahasiswa bersatu padu dalam menggulingkan rezim orde baru. Sekali lagi mahasiswa membuktikan dirinya sebagai salah satu kekuatan oposisi yang kuat dengan berjalan diatas rel intelektualitas dan moralitas.

Pertanyaan besar yang menghadang mahasiswa sebagai gerakan intelektual dan moral adalah masih adakah idealisme mahasiswa yang berjalan diatas relnya? Reformasi sudah berjalan 8 tahun apa yang terjadi dengan gerakan mahasiswa sekarang atau apa yang terjadi dengan mahasiswa sekarang? Mahasiswa mengatasnamakan dirinya sebagai agen perubah “agent of change” dengan bekal intelektualnya mampu menggiring perubahan bahkan arahan perubahan itu, dan ini sudah dibuktikan oleh mahasiswa Indonesia. Kita bisa kagum tahun 1908, Kita bisa tahu tahun 1928, kita bisa lihat gerakan 1966, kita bisa dengar malari 1974, dan kita bisa rasakan reformasi 1998. Ya itulah mahasiswa Indonesia dengan tongkat idealismenya.

Photo By: www. tempointeraktif.com

Saya tidak akan melihat kumpulan manusia intelektual ini sebagai gerakan mahasiswa, tetapi saya akan melihat sebagai mahasiswa. Ketika kita bicara mahasiswa maka secara jelas akan terproyeksi dengan sendirinya gerakan mahasiswa tersebut. Reformasi ’98 terjadi pada saat saya masih menggunakan seragam abu-abu yang sangat bangga dengan perjuangan mahasiswa, terlebih lagi jika saya melihat kumpulan jaket kuning yang terdapat lambang makara didada kirinya, ingin sekali saya mengenakan jaket tersebut serta menjadi bagian dari golongan intelektual itu. Tuhan mengizinkan saya untuk dapat menjadi bagian dari jaket kuning UI. Saya sangat bangga dengan status kemahasiswaan saya ditambah dengan label UI, pertanyaan yang tertanam dalam diri saya bagaimana sebenarnya mahasiswa itu dan bagaimana saya menciptakan idealisme?

Kiri, kanan, tengah...hijau, merah apa abu-abu...dinamika kemahasiswa itulah yang saya temui dan dapatkan ketika saya baru menginjakan kaki saya di Depok. Bingung, ya, saya cukup bingung sebagai mahasiswa baru, kebingunan ini mencul berbarengan dengan semangat idealisme yang membara. Di tengan kebingungan tersebut saya membaca Tulisan Mohammad Hatta, Founding father kita, “tugas pokok seorang mahasiswa adalah intelektualitas dan moralitas” saya menemukan jalan bahwa tidak perlu bingung dengan istilah dan tidak perlu bingung dengan simbol ketika berada pada rel intelektualitas dan moralitas maka dia adalah mahasiswa. Terlebih waktu saya awal kuliah buku Soe Hok Gie yang berjudul Catatan seorang Demonstran merupakan buku wajib yang harus di baca oleh mahasiswa baru di UI.

Proses seperti itulah yang pada akhirnya menciptakan idelisme di dalam diri saya dan dikalangan mahasiswa secara keseluruhan, bagaimana posisi mahasiswa itu sebagai oposisi yang kuat, parlemen jalanan, dan gerakan moral. Mahasiswa dapat turun kejalan ketika ada permasalahan dengan rakyat disekeliling, mahasiswa dapat turun ke jalan ketika pemerintah mulai mengekang rakyatnya.

Saya dapat merasakan ketika mahasiswa bersama-sama jalan dari depan FKUI Salemba menuju istana negara beragam warna jaket almamater bersatu padu untuk meneriakan dan membela kepentingan rakyat. Mahasiswa pun merasakan ketika harus tidur dilantai dingin gedung DPR/MPR senayan. Sebagai mahasiswa yang masih merasakan imbas yang hangat reformasi 98 saya kagum karena satu side (Baca: side idealisme) dari kehidupan mahasiswa masih terasa. Bagaimana side idelisme ini pada mahasiswa sekarang???


Buku, Pesta, dan Cinta, inilah jargon yang cukup populer dikalangn mahasiswa UI angkatan 60-an bahkan sampai sekarang jargon ini tetap menjadi kebanggaan mahasiswa UI. Dunia mahasiswa memang tidak pernah lepas dari hal-hal tersebut, namun sekarang saya mempunyai pandangan bahwa buku, pesta dan cinta semakin tidak seimbang, mahasiswa lebih cenderung untuk hidup dalam dunia pilihannya sendiri, dunia buku, dunia pesta, dunia cinta, dan dunia idealisme.

Sisi idealisme mahsiswa mahasiswa semakin kering, jika saya melihat dari kelompok diskusi...masih bersuarakah kelompok diskusi mahasiwa, bicara soal yang menjelimet sampai yang ringan, saya bisa bilang bukan hanya bersuara tapi tidak ada. Jika saya melihat pers mahasiswa atau mahasiswa menulis kritik sosial...masih lantangkah mahasiswa mengkritik. Saya bisa bilang tidak, karena membaca aja jarang gimana mau nulis. Jika saya melihat dari partisipasi politik mahasiswa...saya bisa bilang dinamika politik atau keorganisisasian ekstrauniversitas mati suri dan tak terdengar...mending belajar yang rajin, cumlaude dapat kerja dan gaji gede.

Kehidupan hedonisme semakin tinggi di kalangan mahasiswa sekarang. Datang kuliah aja seperti mau belaja ke mall, kuliah jam 8 masuk jam 9.
Kampus hanya dijadikan tempat belajar mata kuliah yang tercantum di KRS, meskipun ada “matakuliah” lain yang lebih berharga dibanding matakuliah yang tercantum di KRS. Kampus hanya dijadikan kotak kecil sosialisasi, meraka yang nongkrong di musholla malas bergaul dikantin, mereka yang duduk di ruang senat atau himpunan Jurusan enggan untuk kongkow di pelataran. Mereka yang rajin keperpustakaan (baca buku) ogah untuk nongkrong-nongkrong.

Semakin banyak golongan hedonis di kalangan mahasiswa, membuat saya mengerutkan dahi, bagaimanapun mahasiswa tetap mahasiwa yang mempunyai dua sisi kehidupan. Saya tetap percaya bahwa mahasiswa akan selau menjadi agen perubah dan pengarah perubahan.

Soe Hok Gie pun pernah mengungkapkan keresahannya pada golongan intelektual yang diberi nama mahasiswa: “Saya pergi dari dunia mahasiswa dengan hati berat dan tidak tenang. Masih banyak banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatas nama-TUHAN-kan sampai-sampai dansa dan naik gunung dibawa kepada soal agama. Masih terlalu banyak serigala-serigala berbulu domba. Buaya-buaya judi, tukang-tukang lacur (baiklah kita terus terang bahwa cukup banyak mahasiswa yang sering ketempat pelacur), tukang-tukang nyontek dan bolos yang berteriak-teriak tentang moral generasi muda dan tanggung jawab mahasiswa kepada rakyat. Masih terlalu banyak mahasiswa-mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, mementingkan ormasnya, teman se-ideologi dan lain-lainnya. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi (IIDS,1995:9).”

LUANGKANLAH WAKTU

LUANGKANLAH WAKTU

Luangkanlah waktu untuk bekerja
Itulah nilai kesuksesan

Luangkanlah waktu untuk berfikir
Itulah sumber kekuatan

Luangkanlah waktu untuk bermain
Itulah rahasia awet muda

Luangkanlah waktu untuk membaca
Itulah dasar kebijaksanaan

Luangkanlah waktu untuk bersikap ramah
Itulah jalan menuju kebahagiaan

Luangkanlah waktu untuk berangan
Itulah kereta yang membawa kita menuju bintang

Luangkanlah waktu untuk berdoa
Itulah kekuatan terbesar di dunia

Luangkanlah waktu untuk mencintai dan dicintai
Itulah karunia yang Tuhan berikan

Luangkanlah waktu untuk memperhatikan sekeliling
Hidup ini terlalu singkat untuk memikirkan diri sendiri

Luangkanlah waktu untuk tertawa
Itulah musik jiwa yang bersuka-cita

Nana Sutisna

Rabu, Oktober 10, 2007

kembali bertanya dalam keheningan

idul fitri 1428 H

mohon maaf lahir batin.

Apa yang menjadi pertanyaan terdalam kita sebagai manusia ketika kita dihadapkan pada kondisi penuh kesenangan dan berada dalam kesedihan...?

Kalau AC ya Daikin...

AC DAIKIN: Sebuah pilihan untuk rasa nyaman dan hemat energi       Kondisi Tropis di Ibukota Jakarta sudah cukup membuat suasana dan li...