Selasa, Oktober 10, 2017

Kalau AC ya Daikin...

AC DAIKIN: Sebuah pilihan untuk rasa nyaman dan hemat energi


      Kondisi Tropis di Ibukota Jakarta sudah cukup membuat suasana dan lingkungan sekitar kita menjadi panas dan untuk tubuh kita juga akan terasa gerah bahkan hingga keringat bercucuran. Terkadang aktivitas diluar rumah ataupun juga diluar kantor yang dibarengi dengan aktivitas berkendara melalui lika liku kemacetan Jakarta semakin menambah suasana panas yang pada akhirnya menimbulkan rasa kurang nyaman karena banyak energi dalam tubuh yang terbuang dan dampaknya adalah produktivitas serta daya berpikir menjadi kurang optimal. Kondisi tropis inilah diperlukan suatu sarana untuk dapat mengembalikan suasana kenyamanan dan membuat kinerja kita kembali optimal.

      Salah satu sarana untuk dapat terus berjalan secara sinergi dengan kondisi dan suasana tropis adalah alat pendingin ruangan yang lebih dikenal dengan AC merupakan kependekan dari Air Conditioner. Pada masa kini AC merupakan suatu kebutuhan dan tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan mewah, hingga penggunaannya sudah dapat diterapkan di rumah-rumah. Secara fungsional AC memilki fungsi antara lain, mengatur suhu udara (sejuk dan dingin), mengatur siklus udara, mengatur kelembaban udara, dan mengatur kebersihan udara, secara umum AC berfungsi mempertahankan kondisi udara baik suhu maupun kelembabannya agar nyaman bagi penggunnya. Oleh karena itu penentuan pilihan-pilihan sarana menjadi utama selain memiliki fungsional tentu juga harus hemat energi dan ramah lingkungan.

     Sumber: http://www.daikin.co.id/id/why_daikin/benefits/
      Sinergi suasana tropis dan sarana pendingin maka hanya AC Daikin pilihannya untuk AC nyaman dan hemat energi dengan teknologi yang dikembangkannya oleh AC Daikin yakni Inverter yang merupakan teknologi hemat energi yang menghilangkan limbah operasi AC dengan mengendalikan kecepatan motor secara efisien. AC Daikin AC hemat energi seperti tercantum pada penjelasan teknologi inverter dalam penggunaan AC Daikin AC yang hemat energi dan ramah lingkungan dapat dilihat pada http://www.daikin.co.id/id/why_daikin/benefits/inverter/index.html yang mana dengan AC Daikin tipe inverter suhu disesuaikan dengan mengubah kecepatan motor tanpa memutar motor ON dan OFF. AC Daikin AC hemat energi dengan inverter memiliki daya hilang yang lebih sedikit dan menyimpan energy 30% lebh banyak. AC Daikin selain AC hemat energi juga AC yang ramah lingkungan dengan teknologi refrigeran R-32 sebagai upaya teknologi untuk mengalirkan panas secara efisien, dapat mengurangi konsumsi listrik hingga 10% dan juga AC Daikin dengan refrigeran R-32 memiliki potensi pemanasan global (GWP) sepertiga lebih rendah dan dampak lingkungan yang luar biasa rendah seperti yang dijelaskan pada http://www.daikin.co.id/id/why_daikin/benefits/r-32/index.html.

Sumber: http://www.daikin.co.id/id/why_daikin/benefits/
      Sejarah Daikin merupakan juga sejarah AC di dunia sehingga pengalaman dan inovasi teknologi menjadikan AC Daikin sebagai pilihan serta menjadi top of mind bagi pengguna AC, hal ini menjadikannya pilihan kalau AC ya Daikin. Dengan pengalaman lebih dari 90 tahun http://www.daikin.co.id/id/about/history/digest/index.html AC Daikin memang telah masuk kedalam sendi kehidupan masyarakat pelangganya,telah mengubah kehidupan orang banyak dan juga bisnis melalui pengambangan dan inovasi teknologinya yang nyaman, hemat energi dan ramah lingkungan. Akhirnya sinergi suasana tropis Jakarta menjadikan AC Daikin pilihan utama, sehngga tak ada kata lain kalau AC ya Daikin.




CSR dan Kerja Pemberdayaan Masyarakat

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan kerja Pemberdayaan Masyarakat

Oleh:
NANA SUTISNA[1]
Industrialisasi : Culture Shock Perspektif
Era Industrialisasi selalu diidentikan dengan tumbuh kembangnya pabrik-pabrik dengan skala industri besar dengan menghimpun angkatan-angkatan kerja yang ada, pemanfaatan dan lompatan teknologi. Namun disisi lain persepsi yang muncul akan tumbuh kembang industrialisasi selalu “berhadapan” dengan aspek lingkungan dan harmonisasi sosial.
Kehadiran Industri dipersepsikan mengubah citra atau pandangan masyarakat  bahwa industrilisasi adalah harapan akan dunia baru, sehingga hal ini menjadikan eksodus besar-besaran terhadap pilihan-pilihan bidang pekerjaan pada kaum muda atau angkatan kerja produktif untuk beralih pada bidang industri.  Disisi lain kehadiran industri juga kerap dibenturkan dengan kemunduran lingkungan, semakin menyempitnya lahan pertanian dan hilangnya biodiversity yang ada di alam terbuka.
Dari sisi sosio kultural kehadiran industri kerap kali memunculkan keterkejutan budaya atau “culture shock” bagi masyarakat yang berada dipusat industrialisasi ataupun yang berada menjadi wilayah-wilayah penyangga kawasan industri. Culture Shock[2]  yang terjadi adalah acapkali berbenturan dengan tradisi local, dan juga sisi kepentingan industrialisasi itu sendiri. Keterkejutan budaya ini seringkali memunculkan persepsi-persepsi antar pihak menjadi berlainan, sehingga jika hal ini terus berlangsung akan memuncul kesenjangan social ( social gap) yang terjadi di masyarakat.  Kesenjangan-kesenjangan inilah yang pada akhirnya memicu konflik baik yang bersifat vertical maupun horizoltal.
Persoalan pembangunan yang memunculkan keterkejutan yang ada di wilayah industri seringkali memposisikan antar pihak, masyarakat dan perusahaan, saling berhadapan pada posisi yang kurang harmonis. Kondisi tersebut lah menjadi catatan tersendiri yang harus dipahami dan disikapi oleh perusahaan sebagai “warga baru” dalam suasana dan lingkup kebudayaan yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Dalam perspektif lingkungan hidup kehadiran industri kerapkali dilihat sebagai “agresor” pembangunan yang mendegradasi lingkungan sehingga berdampak pada permasalahan-permasalahan lingkungan dan seringkali disebut sebagai bencana ekologis[3]. Oleh karena sorotan pada dunia industri harus lebih ramah terhadap lingkungan menjadi sangat kuat, dimana praktik-praktik bisnis mensyarakat untuk terus berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup. Hal tersebut karena hal ini menjadi landasan bersama pasca KTT Bumi 1992 di Rio de Jenairo menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Triple Bottom Line: People, Planet & Profit



Paradigma atau kerangka pemikiran yang menjadi landasan untuk menterjemahkan sebuah bisnis etik yang menjunjung keberlanjutan dalam semua aspek. Harmonisasi serta keterpaduann untuk menjalankan etika bisnis yang baik sebagai sarana untuk selalu berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Perkembangan paradigma untuk menterjemahkan harmoni atau keterpaduan serta saling memberikan kebermanfaatan, oleh karena paradigma single bottom line yang meninitikberakan pada aspek profit semata dalam dunia industri atau bisnis mengalami dinamisasi dalam kerangka pikirnya. Dinamisasi ini sebagai respon atas perkembangan sosial dan lingkungan serta desakan paradigma pembangunan berkelanjutan akan perlunya penataan dan perubahaan dalam dunia industri merespon kondisi sosial dan lingkungan.
Paradigma single bottom line  bergesar menjadi triple bottom line[4]. Konsep triple bottom line di kemukan oleh Elkinton (1997) mencoba menggambarkan dan mengembangkan istilah economic prosperity, enviromental quality, dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).[5]   
Paradigma triple bottom line menjadi hal yang mendasari gerak dari kebijakan, program dan implementasi dengan harapan terbangun sebuah harmonisasi sosial dan harmonisasi dengan alam yang pada akhirnya membentuk kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).  Atas dasar kerangka pikir tersebutlah maka tanggung jawab sosial (social responsibility) meruapakan sesuatu yang inherent harus dilakukan dengan mengacu pada aspek-aspek yang membuat ruang-ruang mengenai kesejahteraan dan kelestarian menjadi sesuatu yang utama untuk diimplementasikan.
Tanggung jawab sosial perusahaan dengan merujuk pada kerangka pikir triple bottom line memacu untuk merancang dan menyusun sebuah kerangka program yang kreatif didasarkan pada paradigma kesejahteraan (prosperity) dengan mengutamakan manusia sebagai subjek program karena pendekatan, perencanan, implementasi pembangunan sosial yang berpusat pada manusia (people center development) dipercaya menjadi ruh dalam mengisi ruang-ruang kesejaheraan dan kelestarian.
            Perubahan orientasi serta paradigma terkait dengan implemantasi laju industri menjadikan pola-pola kerja dalam lingkup industri untuk mengintroduksi pendekatan-pendekatan sosial dan lingkungan. Perspektif triple bottom line menjadikan kerangka dan pendekatan industri atau perusahaan untuk sinergi dan selaras mewujudkan pembangunan.
Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) merupakan salah satu alternative pembangunan guna mendukung pembangunan skala makro yang dilakukan oleh negara atau pemerintah. Dalam implementasi tanggung jawab sosial perusahaan mempunyai beragam varian, ada yang bersifat citra, karikatif dan pemberdayaan (empowerment). Namun, dalam  kegiatan yang dilakukakan bahwa proses-proses CSR diharapkan mempunyai dampak positif jangka pangang dengan kata lain setiap program ditujukan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dari segala aspeknya.
Dunia usaha atau kalangan bisnis saat ini giat untuk mengaplikasikan tanggung jawab sosialnya dalam berbagai kategori dan kegiatan yang dilakukan. Implementasi tanggung jawab sosial perusahaan tidak terlepas dari kerangka pemikiran triple bottom line yang mana menejawantahkan menjadi suatu program yang memiliki kebermanfaatan dan keberlanjutan di masyarakat dan juga lingkungan.


Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Orientasi Teoritis
Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu kajian multidisplin keilmuan memiliki paradigma dan orientasi teoritisnya, hal ini sebagai landasan dalam implementasi serta rangkaian dalam memahami masyarakat (community) secara lebih komprehensif. Kompleksitas entitas masyarakat perlu diteliti lebih mendalam tekait beberapa aspek seperti, aspek sosial-budaya, aspek lingkungan, aspek teknologi yang dilihat secara integrasi dan  holistik. Implementasi program-program diharapkan dapat memberikan efek pada menguatnya kelembagaan-kelembagaan masyarakat guna mendorong partisipasi aktif untuk dapat meningkatkan kesejaheraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pemberdayaan masyarakat dalam laksana implementasi program sebagai suatu proses berjalan yang terus menerus dalam mencipatakan masyarakat yangg proaktif dalam menentukan arah kemajuan komunitas atau masyarakatnya sendiri. Berikut adalah skema siklus pemberdayaan dalam pandangan Wilson[6] (1996), yang subyeknya adalah masyarakat.
            Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses menjadikan manusia (baca: masyarakat) sebagai subyek program atau pelaku utama dalam alur implementasi program pemberdayaan yang dilaksanakan. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam melakukan peran-peran yang dilakukan dalam setiap fase program yang diimplemtasikan. Dengan melibatkan secara aktif peran-peran masyarakat maka hal ini diharapkan meminimalisasi tingkat ketergantungan dan juga “sense of belongings” terhadap program, karena setiap fase subyek atau pelaku utama adalah komunitas/masyarakat.
            Pemberdayaan masyarakat memiliki startegi dan alur terutama pada dimensi masyarakat atau sosiologis, oleh karena peranannya untuk menyusun implementasi alur pemberdayaan yang dikemukan oleh Wilson (1996) dan juga dengan perspektif teori perubahan terencana (planed change theory) yang dikemukan oleh Lippit (1961) yang mengungkapkan bahwa proses utama pemberdayaan masyarakat terletak pada penyadaran, identifikasi dan pemecahan masalah, serta perubahan perilaku sebagai respon terhadap persoalan.
Merujuk pada konsepsi pemberdayaan masyarakat tersebut, maka secara aplikatif dirumuskan menganai tahapan-tahapan atau cara kerja dalam melakukan pemberdayaan masyarakat oleh Deliveri (2004), yang memberikan konsep tahapan kerja pemberdayaan masyarakat; Secara rinci masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai berikut. (A).   Tahap 1. Seleksi lokasi (B).   Tahap 2. Sosialisasi pemberdayaan masyarakat (C).   Tahap 3. Proses pemberdayaan masyarakat a.    Kajian keadaan pedesaan partisipatif b.    Pengembangan kelompok c.    Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan d.   Monitoring dan evaluasi partisipatif (D).   Tahap 4. Pemandirian masyarakat. Tahapan-tahapan pelaksanaan pemberdayaan dapat digambarkan proses seperti gambar tahapan kerja ini.






[1] Penulis memperoleh gelar kesarjanaannya pada bidang Ilmu Antropologi Sosial di Universitas Indonesia, Saat ini bekerja sebagai Community Development Officer  di JOB Pertamina Medco E&P Tomori Sulawesi.
[2] Culture Shock merupakan istilah yg diperkenalkan oleh Kalervo Oberg  seorang ilmuwan Antropologi untuk mendeskripsikan gambaran terkait kegelisahan individu atau kelompok masyarakat terhadap suatu budaya yang masuk kedalam lingkungan budayanya. Oberg, Kalervo (1960), “Culture Shock: Adjusment to New Cultural Enviroment”. Practical Anthropology .7. (177-188).
[3] Bencana Ekologis merupakan akumulasi krisis lingkungan yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya pengurusan alam yang mengakibatkan hancur atau kolapsnya pranata kehidupan social masyarakat. (WALHI).
[4] Teori triple bottom line dikemukan oleh  John Elkinton melalui bukunya  yang berjudul “Cannibals with fork: the Triple Bottom Line of Twentieth century Business” Capstone 1997.
[6] Wilson, Terry  (1996) The Empowerment Manual, Growing Publishing Company, London.

AKU ANTROPOLOGI – AKU UI (INDONESIA)

AKU ANTROPOLOGI – AKU UI (INDONESIA):
SEBUAH CATATAN-CATATAN HATI (HEART NOTES)
Oleh
NANA SUTISNA
0900070187 – Antropologi UI/ 2000

Kami adalah kaum miniaturis dari ilmu-ilmu sosial, yang melukis pada kanvas-kanvas liliput dengan coretan-coretan yang kami anggap sangat halus. Kami mengharapkan untuk dapat menemukan didalam yang kecil apa yang lolos dari perhatian kami didalam yang besar, siapa tahu kami beruntung menemukan kebenaran-kebenaran umum sambil menyaring kasus-kasus yang khusus.” (Clifford Geertz ; 1982 )

Linglung  di jalan Antropologi

Era tahun 2000-an bagi sebagian kalangan pelajar SMA di Jakarta nama antropologi bukanlah sesuatu yang asing, namun bukan pula menjadi sesuatu yang favorit untuk digeluti secara mendalam jika dibandingkan dengan ilmu hubungan internasional,  ilmu ekonomi dan ilmu hukum. Namun, bagi saya nama antropologi adalah sesuatu yang unik, sesuatu yang baru saya dengar ketika ikut bimbingan belajar, karena selama saya sekolah STM (Sekolah Teknik Menengah)- sederajat dengan SMA -  hampir-hampir saya tidak pernah mendengar nama antropologi, sesuatu yang asing dan tak pernah terbayangkan. Selama tiga tahun itu selalu berkutat dengan kayu, semen dan batu bata yang merupakan  menjadi hal yang dipelajari oleh saya sebagai siswa STM jurusan bangunan gedung. Bagi saya melanjutkan ke jenjang selanjutnya dan menjadi arsitek adalah pilihan paling rasional.

Berbekal pengetahuan anak STM yang ikut bimbingan belajar, saya memberanikan diri untuk memilih antropologi pada pilihan kedua Setelah pilihan rasional saya di arsitek pada Universitas Indonesia. Memilih antropologi bukanlah karena pilihan-pilhan rasional dan tentang cita-cita masa depan tapi lebih kepada “unik”, aneh, dan baru pernah dengar, dan tingginya harapan untuk menjadi bagian dari keluarga jaket kuning-UI. Selang waktu berlalu ternyata Tuhan memberikan saya kejalan yang unik, jalan antropologi. Suatu tahapan baru bagi harapan saya, dan saatnya mengubur mimpi membangun konstruksi bangunan fisik karena Tuhan telah menunjukan kuasanya, saatnya menatap “jalan” baru, jalan antropologi.

Hari-hari baru menapaki jalan-jalan antroplogi menjadikan diri saya menjadi “aneh”  menjadi limbung atau linglung kata orang sunda, kata–kata baru mulai merasuki pemikiran saya, kebudayaan, etnik atau sukubangsa, struktur sosial, etnografi, serta munculnya “orang-orang baru” dalam cakrawala pemikiran saya mulai dari Radcliffe Brown, Franz Boas, Malinowski, Cliford Geertz hingga Koetjaraningrat. “perkenalan” saya dengan antropologi boleh dikatakan tidaklah mulus karena saya sulit sekali mencerna dan memahami “jenis” bangunan ilmu apakah antropologi ini, jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatan saya yang latar belakang sekolahnya dari jurusan sosial dan bahasa.

Kelinglungan saya ini membuat saya melarikan diri dari antropologi, lebih banyak menampakan diri sebagai “anak UI” dibandingkan sebagai “mahasiswa antropologi”. Mencoba aktif di berbagai aktif di organisasi mahasiswa hanya karena ingin dikenal sebagai “anak UI” yang bisa ikutan aksi, bisa ikutan teriak, namun disisi lain alpa akan jalan unik yang ditapakinya, jalan antropologi. Dua tahun dalam kelimbungan sebagai mahasiswa antropologi, akhirnya saya menemukan “sentuhan antropologi” ketika saya dapat untuk terlibat dalam pelatihan penelitian dan pendampingan masyarakat hutan bersama dengan DR. Iwan Tjitradjaja di daerah Lampung yang tergabung di P3AE (program pengembangan dan Pengkajian Antropologi Ekologi-UI). Kegiatan tersebut sebetulnya diperuntukan bagi mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah Metode Penelitian Antroplogi, sedangkan saya  baru lepas dari mata kuliah pengantar-pengantar dan sistem-sistem, karena senior saya berhalangan, saya yang dipilih untuk menggantikannya dan bagi saya ini adalah celah untuk menyelam lebih dalam ke antropologi.

Proses titik balik antropologi inilah saya temukan di Lampung bersama tim antropologi ekologi. Menemui, berinteraksi serta komunikasi dengan masyarakat ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Memetakan, menganalisa serta menuliskan masyarakat ternyata lebih indah daripada membuat sebuah gambar teknik diatas kertas kalkir. Dititik inilah saya mulai merasakan bahwa saya akan membuat “arsitektur” rumah yang lebih indah, yang dapat menjadi sumber utama penyelesaian masalah atapun konflik yang terjadi di Indonesia. Pengalaman sebagai pemula di Provinsi Lampung inilah yang pada akhirnya membawa saya untuk “menginap” di berbagai lokasi di Indonesia; Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi serta gang-gang sempit di pedalaman Ibukota Jakarta. Komunitas-komunitas itulah yang saya temui yang menjadikan saya menemukan antroplogi secara faktual, hidup dan dapat saling berinteraksi. Pada titik inilah saya mulai merasa bahwa saya adalah “Anak Antropologi” yang berkuliah di UI, saya adalah “Mahasiswa Antropologi” yang ada di FISIP UI.

Menemukan Kembali Antropologi

Seiring berjalannya waktu serta intensifnya pertemuan dan perkuliahannya dengan para “pendekar antropologi’ pasca Koentjaraningrat, yang pada akhirnya membentuk beragam warna pemikiran antropologi, antara lain adalah Prof. Parsudi Suparlan dengan antropologi agamanya, Prof. James Danandjaja dengan Foklorenya, Prof Amri Marzali, dengan peasant dan pembangunan masyarakat desa, Prof Meutia Hatta dengan sistem budaya, Prof. Ahmad fedyani dengan kekarabatan dan multikulturalismenya, DR. Iwan Tjitradjaja dengan kesempatan praktik live in dan antropologi ekologinya serta beberapa “pendekar” muda antropologi lainnya yang membuat saya “betah” dan ingin memberikan jejak kaki antropologi saya dimanapun itu saya jejakan. 

Dari sekian pengalaman interaksi dengan para “pendekar antropologi” ada sebuah pengalaman yang menjadi rajutan saya untuk menemukan kembali antropologi adalah mendampingi Prof, Parsudi Suparlan, saya ada keinginan tapi juga ada ketakutan ketika harus berinteraksi degan beliau. Hampir seluruh kuliah dengan Prof Parsudi Suparlan saya menjadi assistennya, sesuai dengan surat tugas yang saya terima dari Jurusan Antropologi, namun bagi Prof Parsudi Suparlan, saya selalu dianggapnya sebagai “ketua kelas”, menyiapkan fotokopian bahan kuliah, absensi mahasiswa, dan menjaga ujian saat UTS dan UAS adalah hal yang rutin saya lakukan, berbekal dari dari sana “mungkin “saya mahasiswa S1 yang masih diberi kesempatan merasakan dibimbing mengerjakan skripsi oleh Prof. Parsudi Suparlan walaupun tidak tuntas karena kondisi kesehatan beliau dan juga saya ada “tekanan” harus lulus cepat. Bimbingan dengan Prof.Parsudi Suparlan untuk membahas “ masalah penelitian” dan “permasalaan penelitian” saja dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan plus “dimarahi” dan ditertawai ala kuntilanak, hihihihi (mahasiswa 2000-an pasti ngerti ini).

Pengalaman menjadi “ketua kelas” dibeberapa mata kuliah Prof. Parsudi Suparlan yang paling membekas adalah 5 batang gudang garam merah habis berarti kelas selesai (hehehe…bercanda). Metode antropologi, live in, rapport, dan going native adalah hal yang ditanamkan, sehingga ini menjadi senjata pamungkas bagi saya ketika melakukan penelitian-penelitian lapangan. Walaupun proses –proses menjadi native tidaklah mudah ketika dilakukan dilapangan. Tantangan, Dogma, Gengsi, higienitas serta asmara sering kali menjadi penghalang dalam pikiran serta ketika mempraktikannya menjadi sulit dan kaku.

Selama melakukan kerja lapangan ada dua lokasi penelitian yang memberikan jalan bagi ditemukan antropologi sebagai keilmuan ataupun sebagai inspirasi untuk mengubah diri pribadi dalam pembentukan keberfikiran dan juga tata kelakuan ini. Dua lokasi peneltian tersebut adalah pedalaman hutan Lampung dan bantaran sungai ciliwung Jakarta. 

Lampung, tepatnya di lokasi taman hutan raya wan abdurahman, sebuah pengalaman lapangan bagaimana berinteraksi dengan lingkungan (ekologi), inilah pengalaman pertama melakukan kerja-kerja lapangan. Egoisme kota dihadapkan dengan fakta kampong ditengah hutan, berdebar-debar hati ini ketika naik ojek melalui jalan setapak yang pinggirannya adalah jurang, sekali salah ambil lintasan maka akan jumpa di dunia lain. Pengalaman transportasi ojek “crosser” pinggir jurang bagi saya adalah pengalaman lura biasa, dimana aksesibilitas,fasilitas public dan transportasi harus berdamai dengan kontur ekologi, sekali kita memperlakukan alam dengan semena-mena tak akan ada lagi fasilitas yang disediakan oleh alam.

Refeksi metodologi pada kerja lapangan di Lampung ini adalah melihat bagaimana piawainya antropolog, DR iwan Tjitradjaja, memandu sebuah forum diskusi multistakeholder, buat saya yang pemula ini menjadi pembelajaran yang luar biasa bagaimana pemahaman akan kebudayaan,pemetaan stakeholder dan jaringan sosial menjadi kunci memahami dan memandu multistakeholder forum menjadi lebih efektif, focus dan terarah pada penyelesaian masalah. Disinilah pengalaman antropologi saya terwujud dan menjadi penanda untuk membuka dan membaca lembaran-lembaran keantropologian, terutama terkait dengan metodologi dan juga interaksi antar komunitas yang berbeda latar belakang budaya.

Pengalaman antropologis yang lain juga saya alami adalah ketika melakukan penelitian lapangan dibantaran sungai ciliwung Jakarta, pada masyarakat yang tinggal disepanjang bantaran sungai Ciliwung Kampung Melayu, Jakarta. Pengalaman penelitian ada masyarakat perkotaan cenderung membuat saya lebih mudah untuk “bergaul” dikarenakan tata kehidupannya memiliki kemiripan serta status mahasiswa memberikan kemudahan tersendiri. Secara implementatif metode-metode antropologi saya aplikasikan dilapangan guna mendapatkan data-data etnografi yang mendalam, hasil penelitian lapangan mampu memahamai masyarakat secara holistic. 

Hal yan ingin coba saya ungkapkan adalah dalam pengalaman kerja lapangan di bantaran sungai Ciliwung ini bukanlah pada sisi kajiannya, namun fenomena tim lapanggan dimana salah satu anggota peneliti sangat “dekat” dengan informan, sehingga diyakini sulit untuk menganalisa secara obyektif temuan-temuan lapangan.  “asmara lapangan” antara peneliti dengan informan merupakan salah satu pengalaman yang saya temui dan alami, walaupun sebetulnya kisah-kisah “asmara” ini sering saya dengar dari para kerabat-kerabat senior antropologi.

Ketika dihadapkan pada kenyataan lapangan, bahwa cerita kisah-kasih antara peneliti dengan yang ditelitinya, merupakan sebuah keniscayaan dengan metode penelitian yang antropologi terapkan. Dimana proses memahami suatu komunitas atau kebudayaan dilakukan secara pengamatan terlibat , saya lebih senang menyebutnya partisipasi total sehingga menghilangkat sekat dan jarak antara antropolog dengan informannya.  Tantangan terbesar dalam  persoalan diatas pada metodologi serta analisa data, namun inilah yang membuat saya kenal bahwa antropologi itu jalan yang “unik”,  jalan memahami diri sendiri lewat orang lain atau dalam bahasa yang lain saya “mengamini” Prof. PM Laksono bahwa kebudayaan itu adalah “tahu sama tahu” dalam  ceramah antropologinya yang saya dengar di acara Koetjaraningrat Memorial Lecture. (tahunnya lupa)   

    


Refleksi: Antropologi sebuah pondasi arsitektur kebhinekaan Indonesia

Catatan, oretan serta menapaki jalan antropologi sedikit banyak memberikan cakrawala baru dalam kerangka berfikir saya dalam memahami realias dunia saat ini.  Perjumpaan serta interaksi saya dengan para “pendekar” antropologi menambah luas pemahaman saya dalam memahami antropologi sebagai disiplin keilmuan maupun sebagai kerangka pikir dalam memamhami dunia dari salah satu sisinya.  Sampai saat ini hati saya bangga menjadi bagian dari orang-orang yang pernah menimba ilmu antropologi, dan selalu menampilkan untuk mengakui disiplin keimuwan saya adalah antropologi

Konsep-konsep antropologi seperti, kebudayaan, Sukubangsa, sistem kekerabatan,  dan masih banyak lagi konsep elementar dalam ilmu antropologi yang dapat menjadi pondasi bangunan ataupun arsitektur sosial budaya. Konseptual antropologi dapat menjadi rancang bangun kebudayaan nusantara sebagai sarana dan wahana untuk saling mengenal dan memahami Indonesia sebagai sebuah bangsa melalui antropologi. Kekayaan lain dari antropologi terletak pada kuatnya metodologi dan laporan etnografinya, pengalaman pengalaman lapangan mengajarkan dan juga memberikan inspirasi bagi terwujudnya sebuah tatanan sosial yang harmonis. saya ingin mengutif penyataan Antropolog dari Namibia, Robert Gordon, yang dituliskan kembali oleh   William A. Haviland (1999) dalam buku Antropologi 1 “Kalau ilmuwan sosiologi atau politik dapat mengamati keindahan bunga tangkai demi tangkai, maka ahli antropologi adalah orang yang berdiri di puncak gunung dan memandang keindahan medan”. Dengan kata lain perkataan kita mencoba untuk memperoleh persektif yang lebih luas (holistic Perspective). (William A. Haviland)


Kekuatan antropologi bagi saya adalah metode etnografinya, sehingga hal-hal “diluar pikiran” akan mempengaruhi pribadi kita sebagai manusia melalui temuan-temuan etnografinya. Seperti apa yang diungkapkan oleh James P Spreadley (1997)“Kalau Anda hanya melihat riak gelombang, Etnografi menyelami dalamnya dasar lautan !”.  Inilah yang menjadi refleksi tersendiri, bahwa keberagaman adalah keniscayaan dan Indonesia adalah lautan terdalam antropologi. 

Senin, Oktober 09, 2017

semangat



Semangat..semangat..semangat

ketika kemalasna harus dilawan

ketika kesempitan harus dilawan

ketika kegemukan harus dilawan



hanya ada satu kata..

S E M A N G A T

Kalau AC ya Daikin...

AC DAIKIN: Sebuah pilihan untuk rasa nyaman dan hemat energi       Kondisi Tropis di Ibukota Jakarta sudah cukup membuat suasana dan li...