Selasa, Oktober 23, 2007




Ilmu Pengetahuan: IDEOLOGIS APA HUMANIS?

Nana Sutisna
(Antropologi –UI)
Michel Foucault: “Jangan Tanya Siapa aku, jangan memintaku untuk tidak berubah”




Pada hakekat tingkatan ilmu adalah sejajar tidak ada yang lebih rendah dan lebih tinggi. akan tetapi berbicara teori akan lain, karena proses berpikir seseorang berbeda. Sesuatu yang ideal itu tidak kan pernah berubah,
tetapi yang praktis yang selalu berubah. Kita bisa lihat bagaimana Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran) berbicara sangat fasih berbahasa Inggris dengan berbicara tentang globalisasi, kapitalisme dan sebagainya dan itu terjadi tahun 60an, tapi ada kah yang berbeda dengan tahun 2000an, kita masih berbicara globalisasi, kita masih bicara kapitalisme, kita masih bicara modernisme, kita masih berbicara yang ideal tentang dunia ini. Ilmu pengetahuan kalau boleh saya menggunakan perspektif interpretasi budaya dari Clifford Geertz (Tafsir Kebudayaan) tentang kebudayaan adalah “Model Of” dan juga “Model For”. Ilmu pengetahuan masuk dalam “model of reality” suatu acuan tentang penyajian obyek dan begitu pulalah yang ditampilkan oleh ilmu pengetahuan, yang akan bersentuhan dengan kenyataan atau dalam perspektif teori ini dikenal dengan “model for reality”. Dengan berdasarkan pada hal tersebut, maka memang peranan ilmu pengetahuan adalah menciptakan bentuk-bentuk ideal dari tatanan dunia.

Ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai suatu motor besar sejarah unggulnya ilmu-ilmu rasional atas diktuk-diktum yang berskala transcendental, dapat dikatakan bahwa “dalam revolusi kesadaran” maka akan terselip kemuakan-kemuakan logis atas mistifikasi keduniawian dengan mendapuk amukan-amukan saintifik yang diwariskan oleh leluhur kita. Menurut saya akan sangat mu
dah di tebak kemudian, bahwa pengetahuan yang menisbatkan dekonstruksi transcendental berhasil membongkar paham hidup manusia menuju dua dimensi sekaligus. Proyek besar dari ilmu pengetahuan yang membongkar paham hidup manusia, hal ini dalam kalkulasinya Foucault sebagai; pertama, lahirnya kembali manusia yang “sebelum abad ke-19 manusia tidak ada. Manusia adalah penemuan baru….tetapi cepat sekali tua…sepertinya ia sudah menunggu selama ribuan tahun sampai datang penerangan yang membua pada akhirnya ia dikenali…” kedua, Runtuhnya genre manusia itu sendiri yang “mungkin sedang mendekati kematian”.

Menurut saya tidaklah berlebihan, Michel Foucault, seorang Cripto-marxis dan filosop dari Prancis ini mengkalkulasikan ilmu pengetahuan seperti yang disebutkan diatas. Karena dalam
perkembangan pengetahuan hingga munculnya post-strukturalis, ataupun post-kolonialisme bahkan Post-Modernisme, sebuah ilmu pengetahuan terlihat tidak pernah terlepas dari adanya hubungan kekuasaan (power relations), atau yang lebih keras adalah seperti yang diungkapkan oleh Edward said (Orientalisme), “bahwa sains akedemik modern pada hakekatnya adalah sains-sains ideologis yang bersifat politis” hal ini lah menjadikan manusia tidak pernah ada dan manusia mungkin sedang mendekati kematian, seperti apa yang diungkapkan Foucault. Tidak lah terlalu mengherankan jika kemudian Michel Foucault mencoba mencari tahu tentang ide atau ilmu pengetahuan dan pada akhirnya adalah menggugatnya sendiri tentang ide dan ilmu pengetahuan tersebut.

Sebuah ungkapan paling masyhur dari Foucault yang kemudian jadi kebanggaan bagi kalangan akademisi adalah “Knowledge is Power”. Dalam usahanya tersebut tentang ilmu pengetahuan yang pada akhirnya membawanya pada penggugatan terhadap ide atau ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan saya, bahwa ilmu yang mempelajari manusia ataupun membicarakan manusia secara geneologis tidak tiba-tiba lahir begitu saja dalam rahim ilmu pengetahuannya itu sendiri, akan tetapi jauh kebelakang dan merentang ke dalam lubuk keilmuan filosofis yunani, oleh karenanya tidak mungkin menempatkan generalisasi yang menempatkan manusia dalam kanvas tunggal, dan itulah problem keilmuan manusia.

Menggugat ilmu pengetahuan, Foucault sangat percaya bahwa ilmu-ilmu manusia muncul ketika ada upaya mendefinisikan bagaimana sekelompok individu berbicara tentang peradabannya yang mengandung keterikatan sosio-kultural, dalam bahasa Emile Durkheim dikenal dengan konstruksi sosial . Dan kunci ilmu-ilmu manusia bermula dari pemahaman bahasa dan diskursus.
Berbicara ilmu pengetahuan, maka akan terlihat jalan liku mencapai pengetahuan seperti, epistimologi, ontologi, dan sampai pada axiologi. Oleh karena Foucault dalam menggugat ilmu pengetahuan menyebutnya sebagai arkeologi ilmu pengetahuan, yang menelaah pada bahasa dan diskursus, hal ini dilakukan dalam mengenali monumen masa lalu sebagai capaian masa kini dan selanjutnya menuju masa depan...

Dan akhirnya Michel Foucault (The Archeology Of Knowledge) berkata: “Diskursus bukanlah kehidupan: waktunya bukanlah waktu anda; didalamnya anda tidak bisa berdamai dengan kematian; anda barangkali membunuh Tuhan di balik tumpukan-tumpukan apa-apa yang telah anda katakan; tapi sekali-kali jangan bayangkan bahwa, dengan segala hal yang anda katakan, anda bisa membuat seorang manusia bisa hidup lebih lama dibanding jatahnya”. nana sutisna......

Mahasiswa: Dansa Dansi dan Idealisme

Mahasiswa: Dansa Dansi dan Idealisme

Nana Sutisna
(Antropologi-UI)


Soe Hok Gie (CSD): “Kita, generasi kita yang ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, kita yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”


Mei ’98 akan selalu dikenang dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia, dimana seluruh unsur gerakan mahasiswa bersatu padu dalam menggulingkan rezim orde baru. Sekali lagi mahasiswa membuktikan dirinya sebagai salah satu kekuatan oposisi yang kuat dengan berjalan diatas rel intelektualitas dan moralitas.

Pertanyaan besar yang menghadang mahasiswa sebagai gerakan intelektual dan moral adalah masih adakah idealisme mahasiswa yang berjalan diatas relnya? Reformasi sudah berjalan 8 tahun apa yang terjadi dengan gerakan mahasiswa sekarang atau apa yang terjadi dengan mahasiswa sekarang? Mahasiswa mengatasnamakan dirinya sebagai agen perubah “agent of change” dengan bekal intelektualnya mampu menggiring perubahan bahkan arahan perubahan itu, dan ini sudah dibuktikan oleh mahasiswa Indonesia. Kita bisa kagum tahun 1908, Kita bisa tahu tahun 1928, kita bisa lihat gerakan 1966, kita bisa dengar malari 1974, dan kita bisa rasakan reformasi 1998. Ya itulah mahasiswa Indonesia dengan tongkat idealismenya.

Photo By: www. tempointeraktif.com

Saya tidak akan melihat kumpulan manusia intelektual ini sebagai gerakan mahasiswa, tetapi saya akan melihat sebagai mahasiswa. Ketika kita bicara mahasiswa maka secara jelas akan terproyeksi dengan sendirinya gerakan mahasiswa tersebut. Reformasi ’98 terjadi pada saat saya masih menggunakan seragam abu-abu yang sangat bangga dengan perjuangan mahasiswa, terlebih lagi jika saya melihat kumpulan jaket kuning yang terdapat lambang makara didada kirinya, ingin sekali saya mengenakan jaket tersebut serta menjadi bagian dari golongan intelektual itu. Tuhan mengizinkan saya untuk dapat menjadi bagian dari jaket kuning UI. Saya sangat bangga dengan status kemahasiswaan saya ditambah dengan label UI, pertanyaan yang tertanam dalam diri saya bagaimana sebenarnya mahasiswa itu dan bagaimana saya menciptakan idealisme?

Kiri, kanan, tengah...hijau, merah apa abu-abu...dinamika kemahasiswa itulah yang saya temui dan dapatkan ketika saya baru menginjakan kaki saya di Depok. Bingung, ya, saya cukup bingung sebagai mahasiswa baru, kebingunan ini mencul berbarengan dengan semangat idealisme yang membara. Di tengan kebingungan tersebut saya membaca Tulisan Mohammad Hatta, Founding father kita, “tugas pokok seorang mahasiswa adalah intelektualitas dan moralitas” saya menemukan jalan bahwa tidak perlu bingung dengan istilah dan tidak perlu bingung dengan simbol ketika berada pada rel intelektualitas dan moralitas maka dia adalah mahasiswa. Terlebih waktu saya awal kuliah buku Soe Hok Gie yang berjudul Catatan seorang Demonstran merupakan buku wajib yang harus di baca oleh mahasiswa baru di UI.

Proses seperti itulah yang pada akhirnya menciptakan idelisme di dalam diri saya dan dikalangan mahasiswa secara keseluruhan, bagaimana posisi mahasiswa itu sebagai oposisi yang kuat, parlemen jalanan, dan gerakan moral. Mahasiswa dapat turun kejalan ketika ada permasalahan dengan rakyat disekeliling, mahasiswa dapat turun ke jalan ketika pemerintah mulai mengekang rakyatnya.

Saya dapat merasakan ketika mahasiswa bersama-sama jalan dari depan FKUI Salemba menuju istana negara beragam warna jaket almamater bersatu padu untuk meneriakan dan membela kepentingan rakyat. Mahasiswa pun merasakan ketika harus tidur dilantai dingin gedung DPR/MPR senayan. Sebagai mahasiswa yang masih merasakan imbas yang hangat reformasi 98 saya kagum karena satu side (Baca: side idealisme) dari kehidupan mahasiswa masih terasa. Bagaimana side idelisme ini pada mahasiswa sekarang???


Buku, Pesta, dan Cinta, inilah jargon yang cukup populer dikalangn mahasiswa UI angkatan 60-an bahkan sampai sekarang jargon ini tetap menjadi kebanggaan mahasiswa UI. Dunia mahasiswa memang tidak pernah lepas dari hal-hal tersebut, namun sekarang saya mempunyai pandangan bahwa buku, pesta dan cinta semakin tidak seimbang, mahasiswa lebih cenderung untuk hidup dalam dunia pilihannya sendiri, dunia buku, dunia pesta, dunia cinta, dan dunia idealisme.

Sisi idealisme mahsiswa mahasiswa semakin kering, jika saya melihat dari kelompok diskusi...masih bersuarakah kelompok diskusi mahasiwa, bicara soal yang menjelimet sampai yang ringan, saya bisa bilang bukan hanya bersuara tapi tidak ada. Jika saya melihat pers mahasiswa atau mahasiswa menulis kritik sosial...masih lantangkah mahasiswa mengkritik. Saya bisa bilang tidak, karena membaca aja jarang gimana mau nulis. Jika saya melihat dari partisipasi politik mahasiswa...saya bisa bilang dinamika politik atau keorganisisasian ekstrauniversitas mati suri dan tak terdengar...mending belajar yang rajin, cumlaude dapat kerja dan gaji gede.

Kehidupan hedonisme semakin tinggi di kalangan mahasiswa sekarang. Datang kuliah aja seperti mau belaja ke mall, kuliah jam 8 masuk jam 9.
Kampus hanya dijadikan tempat belajar mata kuliah yang tercantum di KRS, meskipun ada “matakuliah” lain yang lebih berharga dibanding matakuliah yang tercantum di KRS. Kampus hanya dijadikan kotak kecil sosialisasi, meraka yang nongkrong di musholla malas bergaul dikantin, mereka yang duduk di ruang senat atau himpunan Jurusan enggan untuk kongkow di pelataran. Mereka yang rajin keperpustakaan (baca buku) ogah untuk nongkrong-nongkrong.

Semakin banyak golongan hedonis di kalangan mahasiswa, membuat saya mengerutkan dahi, bagaimanapun mahasiswa tetap mahasiwa yang mempunyai dua sisi kehidupan. Saya tetap percaya bahwa mahasiswa akan selau menjadi agen perubah dan pengarah perubahan.

Soe Hok Gie pun pernah mengungkapkan keresahannya pada golongan intelektual yang diberi nama mahasiswa: “Saya pergi dari dunia mahasiswa dengan hati berat dan tidak tenang. Masih banyak banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatas nama-TUHAN-kan sampai-sampai dansa dan naik gunung dibawa kepada soal agama. Masih terlalu banyak serigala-serigala berbulu domba. Buaya-buaya judi, tukang-tukang lacur (baiklah kita terus terang bahwa cukup banyak mahasiswa yang sering ketempat pelacur), tukang-tukang nyontek dan bolos yang berteriak-teriak tentang moral generasi muda dan tanggung jawab mahasiswa kepada rakyat. Masih terlalu banyak mahasiswa-mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, mementingkan ormasnya, teman se-ideologi dan lain-lainnya. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi (IIDS,1995:9).”

LUANGKANLAH WAKTU

LUANGKANLAH WAKTU

Luangkanlah waktu untuk bekerja
Itulah nilai kesuksesan

Luangkanlah waktu untuk berfikir
Itulah sumber kekuatan

Luangkanlah waktu untuk bermain
Itulah rahasia awet muda

Luangkanlah waktu untuk membaca
Itulah dasar kebijaksanaan

Luangkanlah waktu untuk bersikap ramah
Itulah jalan menuju kebahagiaan

Luangkanlah waktu untuk berangan
Itulah kereta yang membawa kita menuju bintang

Luangkanlah waktu untuk berdoa
Itulah kekuatan terbesar di dunia

Luangkanlah waktu untuk mencintai dan dicintai
Itulah karunia yang Tuhan berikan

Luangkanlah waktu untuk memperhatikan sekeliling
Hidup ini terlalu singkat untuk memikirkan diri sendiri

Luangkanlah waktu untuk tertawa
Itulah musik jiwa yang bersuka-cita

Nana Sutisna

Rabu, Oktober 10, 2007

kembali bertanya dalam keheningan

idul fitri 1428 H

mohon maaf lahir batin.

Apa yang menjadi pertanyaan terdalam kita sebagai manusia ketika kita dihadapkan pada kondisi penuh kesenangan dan berada dalam kesedihan...?

Kalau AC ya Daikin...

AC DAIKIN: Sebuah pilihan untuk rasa nyaman dan hemat energi       Kondisi Tropis di Ibukota Jakarta sudah cukup membuat suasana dan li...