Selasa, Oktober 10, 2017

CSR dan Kerja Pemberdayaan Masyarakat

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan kerja Pemberdayaan Masyarakat

Oleh:
NANA SUTISNA[1]
Industrialisasi : Culture Shock Perspektif
Era Industrialisasi selalu diidentikan dengan tumbuh kembangnya pabrik-pabrik dengan skala industri besar dengan menghimpun angkatan-angkatan kerja yang ada, pemanfaatan dan lompatan teknologi. Namun disisi lain persepsi yang muncul akan tumbuh kembang industrialisasi selalu “berhadapan” dengan aspek lingkungan dan harmonisasi sosial.
Kehadiran Industri dipersepsikan mengubah citra atau pandangan masyarakat  bahwa industrilisasi adalah harapan akan dunia baru, sehingga hal ini menjadikan eksodus besar-besaran terhadap pilihan-pilihan bidang pekerjaan pada kaum muda atau angkatan kerja produktif untuk beralih pada bidang industri.  Disisi lain kehadiran industri juga kerap dibenturkan dengan kemunduran lingkungan, semakin menyempitnya lahan pertanian dan hilangnya biodiversity yang ada di alam terbuka.
Dari sisi sosio kultural kehadiran industri kerap kali memunculkan keterkejutan budaya atau “culture shock” bagi masyarakat yang berada dipusat industrialisasi ataupun yang berada menjadi wilayah-wilayah penyangga kawasan industri. Culture Shock[2]  yang terjadi adalah acapkali berbenturan dengan tradisi local, dan juga sisi kepentingan industrialisasi itu sendiri. Keterkejutan budaya ini seringkali memunculkan persepsi-persepsi antar pihak menjadi berlainan, sehingga jika hal ini terus berlangsung akan memuncul kesenjangan social ( social gap) yang terjadi di masyarakat.  Kesenjangan-kesenjangan inilah yang pada akhirnya memicu konflik baik yang bersifat vertical maupun horizoltal.
Persoalan pembangunan yang memunculkan keterkejutan yang ada di wilayah industri seringkali memposisikan antar pihak, masyarakat dan perusahaan, saling berhadapan pada posisi yang kurang harmonis. Kondisi tersebut lah menjadi catatan tersendiri yang harus dipahami dan disikapi oleh perusahaan sebagai “warga baru” dalam suasana dan lingkup kebudayaan yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Dalam perspektif lingkungan hidup kehadiran industri kerapkali dilihat sebagai “agresor” pembangunan yang mendegradasi lingkungan sehingga berdampak pada permasalahan-permasalahan lingkungan dan seringkali disebut sebagai bencana ekologis[3]. Oleh karena sorotan pada dunia industri harus lebih ramah terhadap lingkungan menjadi sangat kuat, dimana praktik-praktik bisnis mensyarakat untuk terus berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup. Hal tersebut karena hal ini menjadi landasan bersama pasca KTT Bumi 1992 di Rio de Jenairo menuju pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Triple Bottom Line: People, Planet & Profit



Paradigma atau kerangka pemikiran yang menjadi landasan untuk menterjemahkan sebuah bisnis etik yang menjunjung keberlanjutan dalam semua aspek. Harmonisasi serta keterpaduann untuk menjalankan etika bisnis yang baik sebagai sarana untuk selalu berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Perkembangan paradigma untuk menterjemahkan harmoni atau keterpaduan serta saling memberikan kebermanfaatan, oleh karena paradigma single bottom line yang meninitikberakan pada aspek profit semata dalam dunia industri atau bisnis mengalami dinamisasi dalam kerangka pikirnya. Dinamisasi ini sebagai respon atas perkembangan sosial dan lingkungan serta desakan paradigma pembangunan berkelanjutan akan perlunya penataan dan perubahaan dalam dunia industri merespon kondisi sosial dan lingkungan.
Paradigma single bottom line  bergesar menjadi triple bottom line[4]. Konsep triple bottom line di kemukan oleh Elkinton (1997) mencoba menggambarkan dan mengembangkan istilah economic prosperity, enviromental quality, dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).[5]   
Paradigma triple bottom line menjadi hal yang mendasari gerak dari kebijakan, program dan implementasi dengan harapan terbangun sebuah harmonisasi sosial dan harmonisasi dengan alam yang pada akhirnya membentuk kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).  Atas dasar kerangka pikir tersebutlah maka tanggung jawab sosial (social responsibility) meruapakan sesuatu yang inherent harus dilakukan dengan mengacu pada aspek-aspek yang membuat ruang-ruang mengenai kesejahteraan dan kelestarian menjadi sesuatu yang utama untuk diimplementasikan.
Tanggung jawab sosial perusahaan dengan merujuk pada kerangka pikir triple bottom line memacu untuk merancang dan menyusun sebuah kerangka program yang kreatif didasarkan pada paradigma kesejahteraan (prosperity) dengan mengutamakan manusia sebagai subjek program karena pendekatan, perencanan, implementasi pembangunan sosial yang berpusat pada manusia (people center development) dipercaya menjadi ruh dalam mengisi ruang-ruang kesejaheraan dan kelestarian.
            Perubahan orientasi serta paradigma terkait dengan implemantasi laju industri menjadikan pola-pola kerja dalam lingkup industri untuk mengintroduksi pendekatan-pendekatan sosial dan lingkungan. Perspektif triple bottom line menjadikan kerangka dan pendekatan industri atau perusahaan untuk sinergi dan selaras mewujudkan pembangunan.
Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) merupakan salah satu alternative pembangunan guna mendukung pembangunan skala makro yang dilakukan oleh negara atau pemerintah. Dalam implementasi tanggung jawab sosial perusahaan mempunyai beragam varian, ada yang bersifat citra, karikatif dan pemberdayaan (empowerment). Namun, dalam  kegiatan yang dilakukakan bahwa proses-proses CSR diharapkan mempunyai dampak positif jangka pangang dengan kata lain setiap program ditujukan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dari segala aspeknya.
Dunia usaha atau kalangan bisnis saat ini giat untuk mengaplikasikan tanggung jawab sosialnya dalam berbagai kategori dan kegiatan yang dilakukan. Implementasi tanggung jawab sosial perusahaan tidak terlepas dari kerangka pemikiran triple bottom line yang mana menejawantahkan menjadi suatu program yang memiliki kebermanfaatan dan keberlanjutan di masyarakat dan juga lingkungan.


Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Orientasi Teoritis
Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu kajian multidisplin keilmuan memiliki paradigma dan orientasi teoritisnya, hal ini sebagai landasan dalam implementasi serta rangkaian dalam memahami masyarakat (community) secara lebih komprehensif. Kompleksitas entitas masyarakat perlu diteliti lebih mendalam tekait beberapa aspek seperti, aspek sosial-budaya, aspek lingkungan, aspek teknologi yang dilihat secara integrasi dan  holistik. Implementasi program-program diharapkan dapat memberikan efek pada menguatnya kelembagaan-kelembagaan masyarakat guna mendorong partisipasi aktif untuk dapat meningkatkan kesejaheraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pemberdayaan masyarakat dalam laksana implementasi program sebagai suatu proses berjalan yang terus menerus dalam mencipatakan masyarakat yangg proaktif dalam menentukan arah kemajuan komunitas atau masyarakatnya sendiri. Berikut adalah skema siklus pemberdayaan dalam pandangan Wilson[6] (1996), yang subyeknya adalah masyarakat.
            Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses menjadikan manusia (baca: masyarakat) sebagai subyek program atau pelaku utama dalam alur implementasi program pemberdayaan yang dilaksanakan. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam melakukan peran-peran yang dilakukan dalam setiap fase program yang diimplemtasikan. Dengan melibatkan secara aktif peran-peran masyarakat maka hal ini diharapkan meminimalisasi tingkat ketergantungan dan juga “sense of belongings” terhadap program, karena setiap fase subyek atau pelaku utama adalah komunitas/masyarakat.
            Pemberdayaan masyarakat memiliki startegi dan alur terutama pada dimensi masyarakat atau sosiologis, oleh karena peranannya untuk menyusun implementasi alur pemberdayaan yang dikemukan oleh Wilson (1996) dan juga dengan perspektif teori perubahan terencana (planed change theory) yang dikemukan oleh Lippit (1961) yang mengungkapkan bahwa proses utama pemberdayaan masyarakat terletak pada penyadaran, identifikasi dan pemecahan masalah, serta perubahan perilaku sebagai respon terhadap persoalan.
Merujuk pada konsepsi pemberdayaan masyarakat tersebut, maka secara aplikatif dirumuskan menganai tahapan-tahapan atau cara kerja dalam melakukan pemberdayaan masyarakat oleh Deliveri (2004), yang memberikan konsep tahapan kerja pemberdayaan masyarakat; Secara rinci masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai berikut. (A).   Tahap 1. Seleksi lokasi (B).   Tahap 2. Sosialisasi pemberdayaan masyarakat (C).   Tahap 3. Proses pemberdayaan masyarakat a.    Kajian keadaan pedesaan partisipatif b.    Pengembangan kelompok c.    Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan d.   Monitoring dan evaluasi partisipatif (D).   Tahap 4. Pemandirian masyarakat. Tahapan-tahapan pelaksanaan pemberdayaan dapat digambarkan proses seperti gambar tahapan kerja ini.






[1] Penulis memperoleh gelar kesarjanaannya pada bidang Ilmu Antropologi Sosial di Universitas Indonesia, Saat ini bekerja sebagai Community Development Officer  di JOB Pertamina Medco E&P Tomori Sulawesi.
[2] Culture Shock merupakan istilah yg diperkenalkan oleh Kalervo Oberg  seorang ilmuwan Antropologi untuk mendeskripsikan gambaran terkait kegelisahan individu atau kelompok masyarakat terhadap suatu budaya yang masuk kedalam lingkungan budayanya. Oberg, Kalervo (1960), “Culture Shock: Adjusment to New Cultural Enviroment”. Practical Anthropology .7. (177-188).
[3] Bencana Ekologis merupakan akumulasi krisis lingkungan yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya pengurusan alam yang mengakibatkan hancur atau kolapsnya pranata kehidupan social masyarakat. (WALHI).
[4] Teori triple bottom line dikemukan oleh  John Elkinton melalui bukunya  yang berjudul “Cannibals with fork: the Triple Bottom Line of Twentieth century Business” Capstone 1997.
[6] Wilson, Terry  (1996) The Empowerment Manual, Growing Publishing Company, London.

Tidak ada komentar:

Kalau AC ya Daikin...

AC DAIKIN: Sebuah pilihan untuk rasa nyaman dan hemat energi       Kondisi Tropis di Ibukota Jakarta sudah cukup membuat suasana dan li...