Selasa, Oktober 23, 2007

Mahasiswa: Dansa Dansi dan Idealisme

Mahasiswa: Dansa Dansi dan Idealisme

Nana Sutisna
(Antropologi-UI)


Soe Hok Gie (CSD): “Kita, generasi kita yang ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, kita yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”


Mei ’98 akan selalu dikenang dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia, dimana seluruh unsur gerakan mahasiswa bersatu padu dalam menggulingkan rezim orde baru. Sekali lagi mahasiswa membuktikan dirinya sebagai salah satu kekuatan oposisi yang kuat dengan berjalan diatas rel intelektualitas dan moralitas.

Pertanyaan besar yang menghadang mahasiswa sebagai gerakan intelektual dan moral adalah masih adakah idealisme mahasiswa yang berjalan diatas relnya? Reformasi sudah berjalan 8 tahun apa yang terjadi dengan gerakan mahasiswa sekarang atau apa yang terjadi dengan mahasiswa sekarang? Mahasiswa mengatasnamakan dirinya sebagai agen perubah “agent of change” dengan bekal intelektualnya mampu menggiring perubahan bahkan arahan perubahan itu, dan ini sudah dibuktikan oleh mahasiswa Indonesia. Kita bisa kagum tahun 1908, Kita bisa tahu tahun 1928, kita bisa lihat gerakan 1966, kita bisa dengar malari 1974, dan kita bisa rasakan reformasi 1998. Ya itulah mahasiswa Indonesia dengan tongkat idealismenya.

Photo By: www. tempointeraktif.com

Saya tidak akan melihat kumpulan manusia intelektual ini sebagai gerakan mahasiswa, tetapi saya akan melihat sebagai mahasiswa. Ketika kita bicara mahasiswa maka secara jelas akan terproyeksi dengan sendirinya gerakan mahasiswa tersebut. Reformasi ’98 terjadi pada saat saya masih menggunakan seragam abu-abu yang sangat bangga dengan perjuangan mahasiswa, terlebih lagi jika saya melihat kumpulan jaket kuning yang terdapat lambang makara didada kirinya, ingin sekali saya mengenakan jaket tersebut serta menjadi bagian dari golongan intelektual itu. Tuhan mengizinkan saya untuk dapat menjadi bagian dari jaket kuning UI. Saya sangat bangga dengan status kemahasiswaan saya ditambah dengan label UI, pertanyaan yang tertanam dalam diri saya bagaimana sebenarnya mahasiswa itu dan bagaimana saya menciptakan idealisme?

Kiri, kanan, tengah...hijau, merah apa abu-abu...dinamika kemahasiswa itulah yang saya temui dan dapatkan ketika saya baru menginjakan kaki saya di Depok. Bingung, ya, saya cukup bingung sebagai mahasiswa baru, kebingunan ini mencul berbarengan dengan semangat idealisme yang membara. Di tengan kebingungan tersebut saya membaca Tulisan Mohammad Hatta, Founding father kita, “tugas pokok seorang mahasiswa adalah intelektualitas dan moralitas” saya menemukan jalan bahwa tidak perlu bingung dengan istilah dan tidak perlu bingung dengan simbol ketika berada pada rel intelektualitas dan moralitas maka dia adalah mahasiswa. Terlebih waktu saya awal kuliah buku Soe Hok Gie yang berjudul Catatan seorang Demonstran merupakan buku wajib yang harus di baca oleh mahasiswa baru di UI.

Proses seperti itulah yang pada akhirnya menciptakan idelisme di dalam diri saya dan dikalangan mahasiswa secara keseluruhan, bagaimana posisi mahasiswa itu sebagai oposisi yang kuat, parlemen jalanan, dan gerakan moral. Mahasiswa dapat turun kejalan ketika ada permasalahan dengan rakyat disekeliling, mahasiswa dapat turun ke jalan ketika pemerintah mulai mengekang rakyatnya.

Saya dapat merasakan ketika mahasiswa bersama-sama jalan dari depan FKUI Salemba menuju istana negara beragam warna jaket almamater bersatu padu untuk meneriakan dan membela kepentingan rakyat. Mahasiswa pun merasakan ketika harus tidur dilantai dingin gedung DPR/MPR senayan. Sebagai mahasiswa yang masih merasakan imbas yang hangat reformasi 98 saya kagum karena satu side (Baca: side idealisme) dari kehidupan mahasiswa masih terasa. Bagaimana side idelisme ini pada mahasiswa sekarang???


Buku, Pesta, dan Cinta, inilah jargon yang cukup populer dikalangn mahasiswa UI angkatan 60-an bahkan sampai sekarang jargon ini tetap menjadi kebanggaan mahasiswa UI. Dunia mahasiswa memang tidak pernah lepas dari hal-hal tersebut, namun sekarang saya mempunyai pandangan bahwa buku, pesta dan cinta semakin tidak seimbang, mahasiswa lebih cenderung untuk hidup dalam dunia pilihannya sendiri, dunia buku, dunia pesta, dunia cinta, dan dunia idealisme.

Sisi idealisme mahsiswa mahasiswa semakin kering, jika saya melihat dari kelompok diskusi...masih bersuarakah kelompok diskusi mahasiwa, bicara soal yang menjelimet sampai yang ringan, saya bisa bilang bukan hanya bersuara tapi tidak ada. Jika saya melihat pers mahasiswa atau mahasiswa menulis kritik sosial...masih lantangkah mahasiswa mengkritik. Saya bisa bilang tidak, karena membaca aja jarang gimana mau nulis. Jika saya melihat dari partisipasi politik mahasiswa...saya bisa bilang dinamika politik atau keorganisisasian ekstrauniversitas mati suri dan tak terdengar...mending belajar yang rajin, cumlaude dapat kerja dan gaji gede.

Kehidupan hedonisme semakin tinggi di kalangan mahasiswa sekarang. Datang kuliah aja seperti mau belaja ke mall, kuliah jam 8 masuk jam 9.
Kampus hanya dijadikan tempat belajar mata kuliah yang tercantum di KRS, meskipun ada “matakuliah” lain yang lebih berharga dibanding matakuliah yang tercantum di KRS. Kampus hanya dijadikan kotak kecil sosialisasi, meraka yang nongkrong di musholla malas bergaul dikantin, mereka yang duduk di ruang senat atau himpunan Jurusan enggan untuk kongkow di pelataran. Mereka yang rajin keperpustakaan (baca buku) ogah untuk nongkrong-nongkrong.

Semakin banyak golongan hedonis di kalangan mahasiswa, membuat saya mengerutkan dahi, bagaimanapun mahasiswa tetap mahasiwa yang mempunyai dua sisi kehidupan. Saya tetap percaya bahwa mahasiswa akan selau menjadi agen perubah dan pengarah perubahan.

Soe Hok Gie pun pernah mengungkapkan keresahannya pada golongan intelektual yang diberi nama mahasiswa: “Saya pergi dari dunia mahasiswa dengan hati berat dan tidak tenang. Masih banyak banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatas nama-TUHAN-kan sampai-sampai dansa dan naik gunung dibawa kepada soal agama. Masih terlalu banyak serigala-serigala berbulu domba. Buaya-buaya judi, tukang-tukang lacur (baiklah kita terus terang bahwa cukup banyak mahasiswa yang sering ketempat pelacur), tukang-tukang nyontek dan bolos yang berteriak-teriak tentang moral generasi muda dan tanggung jawab mahasiswa kepada rakyat. Masih terlalu banyak mahasiswa-mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, mementingkan ormasnya, teman se-ideologi dan lain-lainnya. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi (IIDS,1995:9).”

Tidak ada komentar:

Kalau AC ya Daikin...

AC DAIKIN: Sebuah pilihan untuk rasa nyaman dan hemat energi       Kondisi Tropis di Ibukota Jakarta sudah cukup membuat suasana dan li...