Jumat, Mei 02, 2008

Calon Independen..?

Calon Independen sebuah ujian demokrasi:
Participatif Democracy atau Buying Democracy
?

-Nana Sutisna
[1]-


Kedaulatan dalam “pencalonan”

Dentuman besar reformasi membuat perjalanan politik di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dari tingkatan landasan hukum hingga pada tataran partisipasi publik. Perubahan siklus politik di Indonesia memberikan warna tersendiri dalam partisipasi politik, pada tingkatan partai politik mendapatkan angin segar dalam membentuk partai-partai baru sehingga akhirnya terbentuklah suatu sistem demokrasi multipartai dan pada tingkatan masyarakat terbuka lebar partisipasi publik dalam mengelola hak-hak untuk memilih dengan sistem pemilihan umum secara langsung.
Perubahan siklus politik di Indonesia yang memberikan peluang besar dalam keterlibatan atau partisipasi publik, bila merujuk pada pasal 6A ayat 1 UUD maka peranan publik dalam menentukan kepemimpinan nasional adalah hal utama. Sistem pemilihan umum secara langsung memberikan kedaulautan yang seluas-luasnya kepada rakyat, sehingga kemunculan partisipasi demokrasi (participatif democracy) dalam konteks pemilihan umum menjadi milik rakyat. Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah kedaulautan dan partisipasi publik hanya ada dan terlihat pada saat “pemilihan” bagaimana dengan “pencalonan”?.
Kedaulatan dan partisispasi publik dalam konteks “pencalonan” disikapi positif oleh Mahkamah Konstitusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperbolehkan calon independen maju dalam pemilihan kepala daerah (PILKADA) memberikan terobosan baru dalam peningkatan partisipasi publik, namun hal ini membuat kalangan politisi yang aktif di partai politik menjadi “gerah” bahkan keputusan Mahkamah Konstitusi ini dinilai sebagai sebuah kiamat kecil. Kontestasi wacana dalam menyikapi keberadaan calon independen menjadi sebuah anugerah dalam pembelajaran politik serta menjadi ujian dalam demokrasi pasca reformasi.

Calon independen dan reduksi partai politik
Kalangan yang menjadi penyokong calon independen melihat bahwa, keberadaan calon independen memberikan keleluasaan dan kedaulatan pada publik tidak hanya pada level pemilihan akan tetapi juga pencalonan, dan hal ini memberikan kekuatan penuh publik dalam keterlibatan demokrasi atau partisipasi demokrasi. Terkait dengan partisipasi demokrasi maka keberadaan calon independen menjadi alternatif ataupun variasi pilihan politik di tingkat masyarakat, sehingga sistem satu pintu melalui partai politik menjadi tidak relevan.
Kehadiran calon independen ini pun akan mengurangi peran Partai politik dalam proses penentuan calon dan juga mereduksi demokrasi elitte politik di tingkat partai politik. Oligarki partai-partai politik akan mendapatkan lawannya dengan keberadaan calon independen.

Calon independen dan kualitas demokrasi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kehadiran calon independen dapat dilihat dari perspektif yang berbeda, perspektif yang coba melihat kehadiran calon Independen ini memberikan kontribusi positif pada sistem pemilihan umum, atau singkatnya dapatkan calon independen memberikan kualitas pada sistem pemilihan umum atau lebih besar lagi apakah mampu memberikan kualitas pada demokrasi di Indonesia.
Sistem pemilihan umum secara langsung mempunyai 2 faktor yang cukup penting yakni kekuatan primordial dan kekuatan uang. Kekuatan primordial, seperti lembaga-lembaga kesukuan, agama ataupun lembaga adat memiliki kekuatan dalam struktur serta hirarki di dalam masyarakat, sehingga hal ini akan menjadi daya tawar yang tinggi bagi kekuatan-kekuatan primordial dalam menggandeng calon Independen. Ketakutan terbesarnya adalah kekuatan-kekuatan primordial ini akan menggantikan posisi partai politik sehingga apa yang diharapkan untuk mereduksi demokrasi elitte dan biaya politik dan proses penentuan calon hanya akan berpindan peran. Kekuatan primordial yang mengakar di masyarakat, memiliki tingkat gesekan yang tinggi antar masyarakat, akan menjadi kekuatan baru dalam era calon independen.
Munculnya calon independen memberikan peluang besar dalam menggaet pemilih secara langsung dan maksimal, hal ini memberikan signifikansinya pada kekuatan uang. Kekuatan uang inilah yang akan dimanfaatkan untuk membeli dukungan dari tingkat pencalonan hingga tingkat pemilihan, hal ini membuka kenyataan bahwa demokrasi teramat mahal akan tetapi dapat di ukur nilainya sehingga memberikan peluang terhadap pemilik uang untuk membeli demokrasi dan yang terjadi adalah maraknya transaksi buying democracy, demokrasi yang bisa di beli.
Kekwatiran lain yang muncul dalam “era calon independen” adalah kurang efektinya pemerintahan. Calon independen akan mengalami kesulitan dalam mengambil kebijakan bersama-sama DPRD, karena tidak berasal dari partai politik maka akan partai politik pun tidak akan mudah memberikan dukungannya dalam kerjasama kebijakan, hal ini akan memberikan peluang besar terhadap transaksi politik sehingga menghasilkan kebijakan yang penuh dengan kompromi politik bukan obyektif untuk kemaslahatan rakyat.

Calon Independen sebuah ujian
Siklus politik di Indonesia mengalir sehingga membawa pada “era calon independen” memberikan warna baru dalam alam demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Keberadaan calon independen ini faktanya adalah membawa tingkat partisipasi publik menjadi berdaulat penuh sehingga demokrasi tidak lagi menjadi “mainan” partai politik akan tetapi akan dikelola oleh rakyat
Pemilih bersih dan tidak menjual suara menjadi faktor penting untuk mengusung demokrasi, tidak lagi menyalahgunakan kemiskinan untuk membenarkan tindakan menjual suara karena hal ini pada kenyataannya adalah memperpanjang kemiskinan dan mengkerdilkan demokrasi
“Era calon independen” pun menjadikan sebuah cermin bagi partai-partai politik untuk instropspeksi, pembenahan, serta memberikan pelayanan yang terbaik bagi konstituennya yang adalah rakyat. Sikap eksklusivisme komunitas partai sudah saatnya dibaurkan kepada kepentingan rakyat, bukan rakyat yang harus mengerti kepentingan partai politik. Era ini pulalah yang menjadi ujian bagi sistem politik pasca reformasi dan demokrasi Indonesia .

[1] Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan kebudayaan. Menyelesaikan gelar kesarjanaan pada Departemen Antropologi FISIP UI, konsentrasi pada Antropologi Agama dan Politik Islam. Terlibat di beberapa penelitian sosial serta fasilitasi masyarakat.

Selamat Hari Buruh Internasional




Selamat Hari Buruh Internasional---MayDAy
Nana Sutisna
(Antropologi-UI)


Karl Marx:“Wahai kaum Buruh Sedunia…..Bersatulah!!!”
Revolusi adalah sebuah cara dan Diktator Proletariat adalah Tujuan. Gerakan Buruh adalah Garda depan Sejarah.


Buruh dan Siapa Buruh: sebuah pertanyaan

Saya selalu membayangkan bagaimana saya bisa tinggal di negara maju, sebutlah Perancis, yang akhir-akhir ini sedang mengalami ketegangan rasial dan juga betapa beraninya kaum buruh dinegara tersebut. Mengapa Perancis? Saya menilai bahwa negara Perancis tidak jauh berbeda dengan negara kita dalam hal keaneragaman etnis (multi imigran) dan juga banyaknya kaum buruh yang ada di negara tersebut, tapi jangan bicara masalah ilmu pengetahuan dan pendapatan perkapita negara apalagi masalah sepak bola.....

Pelajaran yang dapat diambil, untuk mencoba membuka semangat perjuangan kelas kaum buruh, soliditas buruh di Perancis dan identitas kaum kelas pekerja/buruh inipun menjadi catatan tersendiri. Bagaimana kaum buruh di Perancis itu mempunyai kesadaran kolektif yang cukup tingggi, tidak hanya mereka yang bekerja pada level bawah, akan tetapi juga pada level pekerja kantor sebutlah dengan white colour. Identitas sebagai buruh yang mempunyai kekuatan secara sosial maupun politis yang ada di Perancis ini sangat kuat.

Masyarakat Indonesia masih memandang kaum buruh atau kelas pekerja adalah mereka yang bekerja pada level bawah, sebutlah buruh-buruh pabrik yang bekerja sebagai pelengkap dari mesin-mesin produksi kaum pemilik modal atau kapitalis, sedangkan kaum pekerja pada tingkat atau level menengah apalagi level atas, saya berpendapat tidak memiliki kesadaran sebagai bagian dari kelas pekerja. Berdasarkan pada hal tersebut, maka akan sangat mudah gerakan kelas pekerja untuk dapat dihadapi atau dihadang oleh kaum pemilik modal, terlebih di Indonesia sekarang pengusaha adalah penguasa.




Kelas : Sependek Pengetahuan
[1]

Classless Society atau Masyarakat tanpa kelas adalah sebuah utopia dari seorang Marx, Bagaimana marx membayang sebuah masyarakat yang tidak yang tak berstrata, tidak ada lagi kaum Borjuasi dan Kaum Proletar, tidak ada lagi yang saling mengeksploitasi.

Marx berpendapat bahwa kaum Buruh atau mayoritas rakyat, sebagai suatu kelas, harus mendapat keuntungan dari proses produksi maka alat-alat produksi harus dikuasai, pendapat Marx tentang hal ini banyak sekali dipahami salah satunya adalah oleh kaum komunis, Lenin, Stalin atau juga ketua Mao, yang menterjemahkan sebagai menghilangnya hak milik, dimana negara menguasai semua alat produksi dan negara mengaturnya secara kolektif. Pada akhirnya menurut pendapat saya bahwa negara dalam hal ini telah menjadi suatu kelas tersendiri, dan akhirnya apa yang disebut oleh marx sebagai suatu masyarakat tanpa kelas memang selalu menjadi utopia.

Konsep kelas merupakan suatu pisau yang membantu ilmuan sosial dalam menganalisis masyarakat, namun dalam dekade 80-an seorang sosiolog, Andre Gorz, mengungkapkan bahwa kita harus mengucapakan selamat tinggal pada konsep kelas pekerja, karena relevansinya sudah sangat sedikit dalam membantu ilmuan sosial dalam menganalisa masyarakat. Pendapat Gorz ini mendapat perdebatan sengit di kalangan ilmuan sosial, terutama sosiologi. Bradley dan Hebson berupaya keras mengembalikan perdebatan tentang kelas kedalam arena sosiologi dan social science lainnya. Pendapat yang dilontarkannya adalah, pertama; harus dilihat dan didiagnosis mengenai “penyakit” apa saja yang ada di sekitar konsep kelas dan apa yng menyebabkan konsep ini terpinggirkan dan kedua; para ilmuan harus sungguh-sunguh untuk menginkorporasikan unsur budaya dan identitas ke dalam teori kelas, sehingga konsep hibriditas kelas mampu menjelaskan realitas sosial mengenai kelas.



Dalam menganalisa “penyakit’ yang ada disekitar konsep kelas, Aage Sorensen, seorang yang tidak pernah puas dengan Marxis tradisional, mencoba menganalisa bahwa menurutnya, konsep kelas kerap kali membingungkan karena bervariasinya definisi dan istilah. Menurut Sorensen, pengertian mengenai konsep kelas berpusat pada eksploitasi, artinya bahwa relasi-relasi kelas distrukturkan oleh proses eksploitasi yang secara sebab akibat membangkitkan kepentingan-kepentingan yang antagonistik. Berkenaan dengan hal tersebut Sorensen menyatakan bahwa sesungguhnya strategi Marxis tradisonal yang mendasarkan dirinya pada teori nilai kerja buruh tidak memuaskan, Sorensen menawarkan alternatifnya bahwa eksploitasi harus didefinisikan sebagai rente ekonomi. Rente ekonomi dalam pandangan Sorensen, dapat dilihat dalam kondisi pasar (market), yakni pasar sempurna dimana kondisi harga yang kompetitif adalah harga yang mencerminkan biaya yang dikeluarkan untuk produksi, akan tetapi kondisi seprti ini sangat sulit, sedangkan dalam kondisi pasar tidak sempurna adalah tertutup informasi dan ketiadaannya relasi kuasa diantara pelaku pasar, hal ini membuat kondisi tertutup kerap menimbulkan rente yang diasosiasikan dengan biaya transaksi.

Pada akhirnya Sorensen berkesimpulan bahwa; 1) hubungan kepemilikan dalam kapitalisme tidak dengan sendirinya menciptakan kelas, 2) ketika serikat buruh mengupayakan upah yang mencerminkan solidaritas, yaitu pengurangan kesenjangan buruh dengan cara meningkatkan upah bagi buruh pada lapisan bawah, maka lapisan buruh paling bawah tersebut menjadi kelas yang mengeksploitasi, 3) adanya peraturan mengenai upah minimum yang tinggi sesungguhnya meningkatkan eksploitasi dalam masyarakat dan para pekerja yang menerima upah minimum tersebut menjadi kelas yang mengeksploitasi masyarakat, 4) negara yang menetapkan aliran negara kesejahteraan (walfare State) sesungguhnya meningkatkan eksploitasi di mana penerima program kesejahteraan mengeksploitasi kelas lainnya, dan 5) negara dengan sistem Neo-Liberal sesunggunya menciptakan masyarakat yang didalamnya dijumpai cukup sedikit eksploitasi, dan karena itu, negara tersebut lebih dekat dengan keadaan masyarakat tanpa kelas.


Uraian dari sorensen tersebut, mendapat banyak tanggapan yang mengandung kritikan seperti dari seorang Neo- Marxis. Erik Olin Wright, tidak sepenuhnya sepakat dengan pandangan Sorensen, utamanya, untuk dua alasan yaitu; pertama, konsep eksploitasi tidak dapat begitu saja direduksi menjadi rente ekonomi. Kedua, kapitalisme tetap saja menciptakan antagonisme kelas, walaupun dalam kondisi imajiner pasar sempurna. Wright mempunyai argumentasi tentang eksploitasi, bagi Wright eksploitasi akan muncul apabila ketimpangan-ketimpangan dalam pendapatan tercipta, karena adanya ketimpangan dalam hak0hak dan kekuasaan terhadap sumberdaya produktif. Singkatnya bahwa menurut Wright ketergantungan merupakan ciri yang paling penting dalam hubungan kelas yang eksploitatif.

Kritikan lain datang dari figur terkemuka dalam pendekatan teori stratifikasi Neo-Weberian, John Goldthrope. Goldthrope tidak sepakat dalam pemberlakuan analisis hanya tipe tertentu, hal ini karena apabila terdapat teori mengenai kelas yang dikonstruksikan dengan baik, maka ini akan berlaku bagi semua tipe. Goldthrope, tidak setuju juga pada simplifikasi yang di buat sorensen, walaupun berhasil menerangkan jenis konflik antarkelas yang berkenaan dengan rente ekonomi, akan tetapi sesungguhnya sorensen tidak pernah menyinggung adanya konflik diluar konflik memperebutkan rente, serta menganggap bahwa konflik memperebutkan rente hanya terjadi antar-kelas saja. Hal lain yang menjadi kritikan adalah mengenai definisi rente ekonomi yang terlalu luas dan tidak memiliki dasar empirik. Konsep pasar sempurna sebetulnya tidak ada dalam dunia nyata, sehingga pendirian sorensen dalam penelitia empirik menjadi hampir-hampir tidak ada.

Perdebatan mengenai konsep kelas yang diungkapkan di atas oleh para ilmuan sosial tersebut memanglah menjadi perdebatan yang cukup hangat, namun memang masih dalam cakrawala teoritik, tapi itulah hal mungkin dapat menambah pemahaman kita tentang apa dan bagaimana kita memami masyarakat dengan analisi kelas. Saya memandang bahwa teori itu harus dibangun dari realtas, dan saya pun setuju dengan pendapat Rueshmeyer dan Mahoney, suatu teori kelas yang kokoh hanya bisa diperoleh dari basis realitas empirik.


MayDay, momentum dari Canada 1872

Saya sedikit sudah bercerita tentang buruh serta perdebatan teoritis tentang kelas. Ini merupakan penegasan saya tentang bagaimana kaum buruh atau disebut sebagai kelas pekerja selalu menjadi diskursus yang menarik dari teoritis maupun empirik.

Dalam realitas, saya ingin mengingatkan kita pada pada gerakan buruh di Canada 1 Mei 1872, , gerakan buruh di Canada pada tahun-tahun selanjut semakin berkembang di seantero Amerika dan Eropa, pada tanggal 1Mei 1886 terjadi demonstrasi besar-besaran sekitar 400.000 buruh berdemonstrasi di Amerika Serikat menuntut pengurangan jam kerja. Polisi menembaki para demonstran dan ratusan demonstran tewas, serta pemimpin demonstran tersebut di hukum mati. Pada akhirnya sampai sekarang diperingati sebagai hari buruh internasional Penetapan MayDay sebagai hari buruh dilakukan oleh Kongres Sosialis Dunia pada tahun 1889. Kelas pekerja telah berhasil menghimpun kekuatannya secara sosial dan politik untuk menegaskan identitasnya dan mengambil suatu nilai lebih yang dimilikinya dari kelas pemilik modal.

Berhasilnya gerakan buruh di Canada, Amerika, dan Eropa pada akhirnya memberi energi pada seluruh buruh di dunia untuk terus bersemangat dan selalu menjaga bagaimana sebuah sistem kapitalisme untuk tidak lagi mengeksploitasi kaum kelas pekerja. Bagaimana kaum buruh dapat kembali menuntut hak-haknya.

May-day selalu mengingatkan kita pada perjuangan kelas pekerja, perjuangan rakyat mayoritas, tentang bagaimana suatu kelas bersatu untuk perjuangan kehidupannya. Hidup Buruh!!!

Bangunlah kaum yang terhina
Bangunlah kaum yang lapar
Semoga yang mulia dalam dunia
Senantiasa bertambah besar
Lenyaplah adat serta faham tua
Kita rakyat, sadar, sadar
Dunia telah berganti rupa
Nafsu telah tersebar
Pertandingan penghabisan
Kumpulah pelawan

Mereka bukan pembangun candi
Mereka hanya pengangkut batu

(Puisi dari Imam Yudotomo)


[1] Tulisan tentang teori kelas di kutip dari Jurnal Masyarakat yang di terbitkan oleh Dept. Sosiologi FISIP – UI.

Kalau AC ya Daikin...

AC DAIKIN: Sebuah pilihan untuk rasa nyaman dan hemat energi       Kondisi Tropis di Ibukota Jakarta sudah cukup membuat suasana dan li...