Selasa, Oktober 10, 2017

AKU ANTROPOLOGI – AKU UI (INDONESIA)

AKU ANTROPOLOGI – AKU UI (INDONESIA):
SEBUAH CATATAN-CATATAN HATI (HEART NOTES)
Oleh
NANA SUTISNA
0900070187 – Antropologi UI/ 2000

Kami adalah kaum miniaturis dari ilmu-ilmu sosial, yang melukis pada kanvas-kanvas liliput dengan coretan-coretan yang kami anggap sangat halus. Kami mengharapkan untuk dapat menemukan didalam yang kecil apa yang lolos dari perhatian kami didalam yang besar, siapa tahu kami beruntung menemukan kebenaran-kebenaran umum sambil menyaring kasus-kasus yang khusus.” (Clifford Geertz ; 1982 )

Linglung  di jalan Antropologi

Era tahun 2000-an bagi sebagian kalangan pelajar SMA di Jakarta nama antropologi bukanlah sesuatu yang asing, namun bukan pula menjadi sesuatu yang favorit untuk digeluti secara mendalam jika dibandingkan dengan ilmu hubungan internasional,  ilmu ekonomi dan ilmu hukum. Namun, bagi saya nama antropologi adalah sesuatu yang unik, sesuatu yang baru saya dengar ketika ikut bimbingan belajar, karena selama saya sekolah STM (Sekolah Teknik Menengah)- sederajat dengan SMA -  hampir-hampir saya tidak pernah mendengar nama antropologi, sesuatu yang asing dan tak pernah terbayangkan. Selama tiga tahun itu selalu berkutat dengan kayu, semen dan batu bata yang merupakan  menjadi hal yang dipelajari oleh saya sebagai siswa STM jurusan bangunan gedung. Bagi saya melanjutkan ke jenjang selanjutnya dan menjadi arsitek adalah pilihan paling rasional.

Berbekal pengetahuan anak STM yang ikut bimbingan belajar, saya memberanikan diri untuk memilih antropologi pada pilihan kedua Setelah pilihan rasional saya di arsitek pada Universitas Indonesia. Memilih antropologi bukanlah karena pilihan-pilhan rasional dan tentang cita-cita masa depan tapi lebih kepada “unik”, aneh, dan baru pernah dengar, dan tingginya harapan untuk menjadi bagian dari keluarga jaket kuning-UI. Selang waktu berlalu ternyata Tuhan memberikan saya kejalan yang unik, jalan antropologi. Suatu tahapan baru bagi harapan saya, dan saatnya mengubur mimpi membangun konstruksi bangunan fisik karena Tuhan telah menunjukan kuasanya, saatnya menatap “jalan” baru, jalan antropologi.

Hari-hari baru menapaki jalan-jalan antroplogi menjadikan diri saya menjadi “aneh”  menjadi limbung atau linglung kata orang sunda, kata–kata baru mulai merasuki pemikiran saya, kebudayaan, etnik atau sukubangsa, struktur sosial, etnografi, serta munculnya “orang-orang baru” dalam cakrawala pemikiran saya mulai dari Radcliffe Brown, Franz Boas, Malinowski, Cliford Geertz hingga Koetjaraningrat. “perkenalan” saya dengan antropologi boleh dikatakan tidaklah mulus karena saya sulit sekali mencerna dan memahami “jenis” bangunan ilmu apakah antropologi ini, jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatan saya yang latar belakang sekolahnya dari jurusan sosial dan bahasa.

Kelinglungan saya ini membuat saya melarikan diri dari antropologi, lebih banyak menampakan diri sebagai “anak UI” dibandingkan sebagai “mahasiswa antropologi”. Mencoba aktif di berbagai aktif di organisasi mahasiswa hanya karena ingin dikenal sebagai “anak UI” yang bisa ikutan aksi, bisa ikutan teriak, namun disisi lain alpa akan jalan unik yang ditapakinya, jalan antropologi. Dua tahun dalam kelimbungan sebagai mahasiswa antropologi, akhirnya saya menemukan “sentuhan antropologi” ketika saya dapat untuk terlibat dalam pelatihan penelitian dan pendampingan masyarakat hutan bersama dengan DR. Iwan Tjitradjaja di daerah Lampung yang tergabung di P3AE (program pengembangan dan Pengkajian Antropologi Ekologi-UI). Kegiatan tersebut sebetulnya diperuntukan bagi mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah Metode Penelitian Antroplogi, sedangkan saya  baru lepas dari mata kuliah pengantar-pengantar dan sistem-sistem, karena senior saya berhalangan, saya yang dipilih untuk menggantikannya dan bagi saya ini adalah celah untuk menyelam lebih dalam ke antropologi.

Proses titik balik antropologi inilah saya temukan di Lampung bersama tim antropologi ekologi. Menemui, berinteraksi serta komunikasi dengan masyarakat ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Memetakan, menganalisa serta menuliskan masyarakat ternyata lebih indah daripada membuat sebuah gambar teknik diatas kertas kalkir. Dititik inilah saya mulai merasakan bahwa saya akan membuat “arsitektur” rumah yang lebih indah, yang dapat menjadi sumber utama penyelesaian masalah atapun konflik yang terjadi di Indonesia. Pengalaman sebagai pemula di Provinsi Lampung inilah yang pada akhirnya membawa saya untuk “menginap” di berbagai lokasi di Indonesia; Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi serta gang-gang sempit di pedalaman Ibukota Jakarta. Komunitas-komunitas itulah yang saya temui yang menjadikan saya menemukan antroplogi secara faktual, hidup dan dapat saling berinteraksi. Pada titik inilah saya mulai merasa bahwa saya adalah “Anak Antropologi” yang berkuliah di UI, saya adalah “Mahasiswa Antropologi” yang ada di FISIP UI.

Menemukan Kembali Antropologi

Seiring berjalannya waktu serta intensifnya pertemuan dan perkuliahannya dengan para “pendekar antropologi’ pasca Koentjaraningrat, yang pada akhirnya membentuk beragam warna pemikiran antropologi, antara lain adalah Prof. Parsudi Suparlan dengan antropologi agamanya, Prof. James Danandjaja dengan Foklorenya, Prof Amri Marzali, dengan peasant dan pembangunan masyarakat desa, Prof Meutia Hatta dengan sistem budaya, Prof. Ahmad fedyani dengan kekarabatan dan multikulturalismenya, DR. Iwan Tjitradjaja dengan kesempatan praktik live in dan antropologi ekologinya serta beberapa “pendekar” muda antropologi lainnya yang membuat saya “betah” dan ingin memberikan jejak kaki antropologi saya dimanapun itu saya jejakan. 

Dari sekian pengalaman interaksi dengan para “pendekar antropologi” ada sebuah pengalaman yang menjadi rajutan saya untuk menemukan kembali antropologi adalah mendampingi Prof, Parsudi Suparlan, saya ada keinginan tapi juga ada ketakutan ketika harus berinteraksi degan beliau. Hampir seluruh kuliah dengan Prof Parsudi Suparlan saya menjadi assistennya, sesuai dengan surat tugas yang saya terima dari Jurusan Antropologi, namun bagi Prof Parsudi Suparlan, saya selalu dianggapnya sebagai “ketua kelas”, menyiapkan fotokopian bahan kuliah, absensi mahasiswa, dan menjaga ujian saat UTS dan UAS adalah hal yang rutin saya lakukan, berbekal dari dari sana “mungkin “saya mahasiswa S1 yang masih diberi kesempatan merasakan dibimbing mengerjakan skripsi oleh Prof. Parsudi Suparlan walaupun tidak tuntas karena kondisi kesehatan beliau dan juga saya ada “tekanan” harus lulus cepat. Bimbingan dengan Prof.Parsudi Suparlan untuk membahas “ masalah penelitian” dan “permasalaan penelitian” saja dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan plus “dimarahi” dan ditertawai ala kuntilanak, hihihihi (mahasiswa 2000-an pasti ngerti ini).

Pengalaman menjadi “ketua kelas” dibeberapa mata kuliah Prof. Parsudi Suparlan yang paling membekas adalah 5 batang gudang garam merah habis berarti kelas selesai (hehehe…bercanda). Metode antropologi, live in, rapport, dan going native adalah hal yang ditanamkan, sehingga ini menjadi senjata pamungkas bagi saya ketika melakukan penelitian-penelitian lapangan. Walaupun proses –proses menjadi native tidaklah mudah ketika dilakukan dilapangan. Tantangan, Dogma, Gengsi, higienitas serta asmara sering kali menjadi penghalang dalam pikiran serta ketika mempraktikannya menjadi sulit dan kaku.

Selama melakukan kerja lapangan ada dua lokasi penelitian yang memberikan jalan bagi ditemukan antropologi sebagai keilmuan ataupun sebagai inspirasi untuk mengubah diri pribadi dalam pembentukan keberfikiran dan juga tata kelakuan ini. Dua lokasi peneltian tersebut adalah pedalaman hutan Lampung dan bantaran sungai ciliwung Jakarta. 

Lampung, tepatnya di lokasi taman hutan raya wan abdurahman, sebuah pengalaman lapangan bagaimana berinteraksi dengan lingkungan (ekologi), inilah pengalaman pertama melakukan kerja-kerja lapangan. Egoisme kota dihadapkan dengan fakta kampong ditengah hutan, berdebar-debar hati ini ketika naik ojek melalui jalan setapak yang pinggirannya adalah jurang, sekali salah ambil lintasan maka akan jumpa di dunia lain. Pengalaman transportasi ojek “crosser” pinggir jurang bagi saya adalah pengalaman lura biasa, dimana aksesibilitas,fasilitas public dan transportasi harus berdamai dengan kontur ekologi, sekali kita memperlakukan alam dengan semena-mena tak akan ada lagi fasilitas yang disediakan oleh alam.

Refeksi metodologi pada kerja lapangan di Lampung ini adalah melihat bagaimana piawainya antropolog, DR iwan Tjitradjaja, memandu sebuah forum diskusi multistakeholder, buat saya yang pemula ini menjadi pembelajaran yang luar biasa bagaimana pemahaman akan kebudayaan,pemetaan stakeholder dan jaringan sosial menjadi kunci memahami dan memandu multistakeholder forum menjadi lebih efektif, focus dan terarah pada penyelesaian masalah. Disinilah pengalaman antropologi saya terwujud dan menjadi penanda untuk membuka dan membaca lembaran-lembaran keantropologian, terutama terkait dengan metodologi dan juga interaksi antar komunitas yang berbeda latar belakang budaya.

Pengalaman antropologis yang lain juga saya alami adalah ketika melakukan penelitian lapangan dibantaran sungai ciliwung Jakarta, pada masyarakat yang tinggal disepanjang bantaran sungai Ciliwung Kampung Melayu, Jakarta. Pengalaman penelitian ada masyarakat perkotaan cenderung membuat saya lebih mudah untuk “bergaul” dikarenakan tata kehidupannya memiliki kemiripan serta status mahasiswa memberikan kemudahan tersendiri. Secara implementatif metode-metode antropologi saya aplikasikan dilapangan guna mendapatkan data-data etnografi yang mendalam, hasil penelitian lapangan mampu memahamai masyarakat secara holistic. 

Hal yan ingin coba saya ungkapkan adalah dalam pengalaman kerja lapangan di bantaran sungai Ciliwung ini bukanlah pada sisi kajiannya, namun fenomena tim lapanggan dimana salah satu anggota peneliti sangat “dekat” dengan informan, sehingga diyakini sulit untuk menganalisa secara obyektif temuan-temuan lapangan.  “asmara lapangan” antara peneliti dengan informan merupakan salah satu pengalaman yang saya temui dan alami, walaupun sebetulnya kisah-kisah “asmara” ini sering saya dengar dari para kerabat-kerabat senior antropologi.

Ketika dihadapkan pada kenyataan lapangan, bahwa cerita kisah-kasih antara peneliti dengan yang ditelitinya, merupakan sebuah keniscayaan dengan metode penelitian yang antropologi terapkan. Dimana proses memahami suatu komunitas atau kebudayaan dilakukan secara pengamatan terlibat , saya lebih senang menyebutnya partisipasi total sehingga menghilangkat sekat dan jarak antara antropolog dengan informannya.  Tantangan terbesar dalam  persoalan diatas pada metodologi serta analisa data, namun inilah yang membuat saya kenal bahwa antropologi itu jalan yang “unik”,  jalan memahami diri sendiri lewat orang lain atau dalam bahasa yang lain saya “mengamini” Prof. PM Laksono bahwa kebudayaan itu adalah “tahu sama tahu” dalam  ceramah antropologinya yang saya dengar di acara Koetjaraningrat Memorial Lecture. (tahunnya lupa)   

    


Refleksi: Antropologi sebuah pondasi arsitektur kebhinekaan Indonesia

Catatan, oretan serta menapaki jalan antropologi sedikit banyak memberikan cakrawala baru dalam kerangka berfikir saya dalam memahami realias dunia saat ini.  Perjumpaan serta interaksi saya dengan para “pendekar” antropologi menambah luas pemahaman saya dalam memahami antropologi sebagai disiplin keilmuan maupun sebagai kerangka pikir dalam memamhami dunia dari salah satu sisinya.  Sampai saat ini hati saya bangga menjadi bagian dari orang-orang yang pernah menimba ilmu antropologi, dan selalu menampilkan untuk mengakui disiplin keimuwan saya adalah antropologi

Konsep-konsep antropologi seperti, kebudayaan, Sukubangsa, sistem kekerabatan,  dan masih banyak lagi konsep elementar dalam ilmu antropologi yang dapat menjadi pondasi bangunan ataupun arsitektur sosial budaya. Konseptual antropologi dapat menjadi rancang bangun kebudayaan nusantara sebagai sarana dan wahana untuk saling mengenal dan memahami Indonesia sebagai sebuah bangsa melalui antropologi. Kekayaan lain dari antropologi terletak pada kuatnya metodologi dan laporan etnografinya, pengalaman pengalaman lapangan mengajarkan dan juga memberikan inspirasi bagi terwujudnya sebuah tatanan sosial yang harmonis. saya ingin mengutif penyataan Antropolog dari Namibia, Robert Gordon, yang dituliskan kembali oleh   William A. Haviland (1999) dalam buku Antropologi 1 “Kalau ilmuwan sosiologi atau politik dapat mengamati keindahan bunga tangkai demi tangkai, maka ahli antropologi adalah orang yang berdiri di puncak gunung dan memandang keindahan medan”. Dengan kata lain perkataan kita mencoba untuk memperoleh persektif yang lebih luas (holistic Perspective). (William A. Haviland)


Kekuatan antropologi bagi saya adalah metode etnografinya, sehingga hal-hal “diluar pikiran” akan mempengaruhi pribadi kita sebagai manusia melalui temuan-temuan etnografinya. Seperti apa yang diungkapkan oleh James P Spreadley (1997)“Kalau Anda hanya melihat riak gelombang, Etnografi menyelami dalamnya dasar lautan !”.  Inilah yang menjadi refleksi tersendiri, bahwa keberagaman adalah keniscayaan dan Indonesia adalah lautan terdalam antropologi. 

Tidak ada komentar:

Kalau AC ya Daikin...

AC DAIKIN: Sebuah pilihan untuk rasa nyaman dan hemat energi       Kondisi Tropis di Ibukota Jakarta sudah cukup membuat suasana dan li...