Jumat, Januari 22, 2016

KEPEMIMPINAN POLITIK JOKOWI: SEBUAH TELAAH ANTROPOLOGI



KEPEMIMPINAN POLITIK JOKOWI:
SEBUAH TELAAH ANTROPOLOGI

-NANA SUTISNA-


Tonggak Baru Indonesia

Pesta demokrasi dengan menampilkan pasangan Jokowi dan JK sebagai presiden Republik Indonesia memberikan banyak analisis dari para ahli terkait dengan kemenagan politik pasangan ini.  berbagai kalangam dari latar belakang keahlian memberikan sudut pandang dan analisisnya seprti yang dianalisi oleh Prof hamdi Muluk, pakar psikologi politik yang menelisik terkait dengan kepribadian pasangan jokowi-JK sehingga memberikan efek terpilihnya pasangan tersebut. Berbagai ahli pun mencoba memberikan pandangannyata terkait dengan peran-peran media maupun social media dalam memainkan arus politik yang ada saat ini, dalam pandangan pakar komunikas politik peranan media dalam melakukan pencitraan begitu kuat sehingga dapat terus terekam dalam ingatan public.

Kemenangan politik pasangan Jokowi-JK membawa harapan baru bagi public untuk melihat Indonesia sesuai dengan program nawacita Jokowi. Prof Ikrar Nusa Bhakti  menilai kemengan Jokowi-JK merupakan tinggak sejarah baru dengan menilai pada pencapaian karir JOkowi yang diawali dari walikota, Gubernur dan akhirnya terpilih sebagai Presiden dan begitu pula dengn JK yang terpilih kembali sebagai wakil presiden.[1]  Dengan kombinasi yang ada pada pasangan ini menjadikan optimisme public semakin kokoh, dan juga membuka ruang-ruang harapan baru yang bagi masyarakat. Berbagai macam ekspektasi masyarakat tertumpah dalam amanatnya yang dititipkan pada presiden yang baru di republik ini.

Dialektika Menjelang  Satu Tahun

Perjalanan kepemimpinan Jokowi-JK dalam menakhodai bangsa ini terus berjalan hampir satu tahun sejak dilantik menjadi Presiden dan wakil presiden, namun dalam proses perjalanan yang baru in pula sudah banyak hal-hal problematic yang harus dihadapi dan harus diperlakukan secara hati-hati karena kepemimpinan ini merupakan harapan dan selara baru bagi public. Persolan problematic yang muncul terus kepermukaan dan menyentuh masyarakat secara luas adalah terkait dengan kenaikan harga BBM , konflik aparat penegak hukum antara polisi dan KPK,dan juga persoalan pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Harapan masyarakat yang begitu kuat, analisis-analisis yang menggambarkan kekuatan dari pasangan jokowi-JK mengalamai dialektisnya disaat kepemimpinan hampir berumur satu  tahun. Ekpekstasi yang begitu kuat seakan-akan mulai meredup, seperti yang tercermin dalam survey yang di lakukan oleh LSI-Denny JA pasca kenaikan harga BBM sekitar 43,82% menyatakan tidak puas dengan kepemimpinan Jokowi-JK[2], survey juga dilakukan oleh Poltracking Indonesia yang menggambarkan bahwa public cenderung tidak puas dengan kinerja pemerintahan jokowi-JK sebesar 48.5 %  Angka sebesar 48,5 persen itu gabungan dari penilaian publik yang sangat tidak puas (5,8%) dan kurang puas (42,7%). Sementara penilaian masyarakat yang puas sebesar 44 persen yaitu gabungan cukup puas (40,5%), dan sangat puas (3,5%). Tidak tahu/tidak jawab (7,5%)[3]. Dalam analisis direktur poltracking Indonesia , Hanta Yudha, bahwa persolan kebijakan kenaikan harga BBM serta polemik dan konflik antara penegak hukum menjadi preseden buruk dimasyarakat.

Menjelang satu tahun kepeminpinan Jokowi-JK menjadi  diskursus menarik  karena dialetika kepemimpinan jokowi adalah dialektika soal harapan dan cita-cita dalam proses waktu yang berjalan harapan public yang begitu besar seakan-akan tergoyahkan dengan berbagai problematik yang ada. Menimbang antara harapan masyarakat dan gaya serta  kebijkan politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi  menjadi sebuah renungan yang mendalam untuk melihat gaya politik Jokowi  dalam perspektif yang lain.

Kepemimpinan Politik Jokowi: Telaah Antropologi

Problematika yang hadir dalam rentang masa satu tahun kepemimpinan Jokowi-JK telah memberikan penilaian tersendiri dikalangan masyarakat terkait dengan gaya dan kepemimpinan jokowi, bahkan muncul keraguan apakah kepemimpinan saat ini mampu memenuhi harapan masyarakat atau public yang luas.Pandangan pada implementasi kebijakan terkait dengan regulasi harga BBM yang cenderung turun naik, konflik aparat penegak hukum serta tidak memiliki power politik yang kuat dan aktif, sehingga hal tersebut  memberikan pandangan mengapa kepemimpinan jokowi dianggap tidak memenuhi harapan masyarakat.

Gaya politik dan kepemimpinan Presiden Jokowi berbagai kalangan menilai bahwa kekuatannya tidak terlalu kuat karena struktur dalam internal partai pengusung Jokowi lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan. Namun hal ini menarik jika kita melihat bagaimana polemic penetapan Kapolri, yang mana telah dibatalkan penetapan Budi Gunawan sebagai calon kapolri, beberapa pakar seperti DR. Salim Said[4] menilai langkah Jokowi sebagai langkah Kuda, walaupun ada dominasi internal namun langkahnya sulit terbaca.

Telisik dari kasus tersebut diatas bahwa langkah-langkah pengembilan keputusan Presiden Jokowi perlu dipahami sebagai suatu perilaku budaya yang mana proses-proses berpikir dan penentuan kebijakan merupakan bentuk implementasi dari cara pandanya terhadap kekusaan dan kepeimpinan. Oleh karena memahami Presiden Jokowi dalam perspektif Antropologi politik tidak dapat dilepaskan dari unsur dan konsep kepeminpinan dan  kekuasaan serta nilai-nilai budaya Jawa yang tertanam dalam dirinya sebagai manusia yang lahir  dalam kultur masyarakat Jawa. Memahami orang Jawa, seperti halnya juga memhami dari masyarakat pada etnis-etnis yang lain, memiliki pandangan hidup terkait dengan dunia (world view), sehingga pandangan hidup manusia Jawa terhadap dunia merupakan system filosofis yang menjadi struktur acuan manusia Jawa dalam menjalani kehidupannya dan berinteraksi secara sosial dengan ruang-ruang public yang dilakoninya.

Pandanga dunia orang Jawa tidak memisahkan realitas yang ada dalam kehidupannya, sehingga pemaham akan dunia dalam pikran Jawa adalah merupakan satu kesatuan. Aryaning Arya Kresna[5] (2009) menyebutkan bahwa Orang Jawa memahami dunia dan ruang tempatnya berdiam sebagai entitas yang tidak terpisah dari kesadarannya. Bahkan bukan hanya menyatu dengan kesadarannya yang terbuka-ke-dalam, eksistensi manusia Jawa tertelan mentah-mentah oleh alamnya. Sehingga, alih-alih manusia Jawa memahami dirinya sebagai sebuah “res cogitans” yang mampu berefleksi tentang  kesadarannya yang berjarak dengan ruang, kesadaran orang Jawa adalah bagian kecil dari ruang. Eksistensi manusia Jawa menyatu dengan alamnya, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan.

Melandaskannya pada bagaimana orang Jawa memiliki pandangan hidup maka hal inipun terkorelasi dengan konsepsinya terkait dengan kekuasaan dan kepemimimpinan. Pemaknaan kekuasaaan dalam masyarakat Jawa dipahami sebagai kekuatan yang menyatu dengan alam, kekuasaan adalah energy ilahi yang tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi kosmos, sehingga pemaknaan konsepsi kekuasaan dipahami oleh orang jawa tidak hanya sebatas pada potensi mempengaruhi tindakan orang lain walaupun orang tersebut menentangnya atau juga kekuasaan bukan hasil dari relasi individu dengan individu atau kelompok lain, akan tetapi merupakan energi illahi yang meresapi kosmos, hal inilah dalam pandangan hidup orang jawa posisi peminpin (raja/presiden) pusat kosmos sekaligus pusat kekuasaan (Kresna, 2009)[6]. Oleh karena walaupun tekanan internal pengusung dari Koalisi merah putih, namun sebagai manusia Jawa Jokowi telah terinternalisi nilai-nilai budaya jawa yang kuat, yang mana pemahaman dan pemaknaan akan kekuasaan akan pula dimaknai oleh dirinya sendiri sebagai seorang Presiden sehingga cukup tepat jika langkah Jokowi ini dinilai sebagai langkah kuda.

Karekter budaya Presiden Jokowi, tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai Jawa yang dinternalisasikan kepada dirinya. Penelitian Hildred Geertz[7] (1983) tentang keluarga Jawa mengungkapkan bahwa seoarang anak pada keluarga Jawa diajarkan untuk selalu hidup harmonis, jika sang anak tidak bertingkah laku baik maka akan mendapatkan sanksi, pelajaran penting yang harus dikuasai oleh anak sebagai bagian dari pertumbuhannya ialah bagaimana dan bilamana harus bertindak-tanduk dengan tata karma. Tata nilai pertama adalah “Hormat” dalam masyarakat jawa adalah wedi, isin, dan sungkan. Wedi berarti takut, isin dapat diartikan sebagai malu, dan sungkan enggan ataupun canggung. Tata nilai kedua adalah rukun yakni  dapat menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial dengan memperkecil peluang konflik sosial dan pribadi dalam bentuk apapun. Usaha untuk mencapai rukun sering kali menjadi motivasi utama untuk membantu sanak saudara dalam keadaan sulit. Sehingga dalam masyarakat jawa seringkali kita dengan peribahasa “mangan ora mangan sing penting ngumpul” dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan “makan gak makan yang penting kumpul”. Jika kita maknai peribahasa tersebut terkandung filosofi hidup yang dalam, dimana mangan  (makan) merupakan kebutuhan pribadi, sedangkan ngumpul (kumpul) adalah kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan sesamanya, merupakan kebuthan bermasyarakat sebagai makhluk sosial, oleh karenanya filosofis inilah bagian dari penguatan dan pengejawantahan konsep rukun dalam masyarakat Jawa. Sejurus dengan pemikiran tersebut, manusia sebagai mikrokosmos hidup bersama dan secara resiprokal membantu menjaga makrokosmos sehingga keseimbangan diantara mereka dapat berjalan dengan baik. Sistem moral sosial ini mengajarkan orang Jawa untuk selalu mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan diri sendiri, dan berbuat baik, karena seluruh kehidupan manusia sudah dalam tatanan kosmos menuju suatu tujuan tertentu (kresna, 2009).

Dengan fakta dan realitas politik yang melingkari kepeminpinan Jokowi serta karakter Jawa yang membentuk tata nilai Presiden Jokowi memberikan pemahaman bagaimana langkah-langkah Presiden Jokowi cenderung kompromistis pada lingkaran terdekat hal ini lebih untuk menjaga rukun atau harmonisasi sosial politik pada mitra-mitra koalisi. Namun keharmonisasian ini  cenderung dapat disalahpahami sebagai sebuah ketertekanan politik, karena yang muncul kepermukaan adalah kebijakan-kebijakan yang kurang populis bagi masyarakat  di mata para lawan politiknya.

Pedoman tata nilai jawa membentuk karakter pemerintahan Jokowi, sehingga hal-hal terkait dengan proses berpikir dan pengambilan keputusan dilandasi atas pandangan hidupnya (world view) tentang kekuasaan,  kepemimpinan dan juga perilaku dalam nilai-nilai jawa terkadang sulit memahami langkah-langkah yang akan dilakukan terkait dengan pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan yang akan diputuskan karena begitu banyak aspek yang perlu di jaga harmonisasinya. Makrokosmos dalam pemikiran Jawa dipahami sebagai keberlangsungan hidup pada tiap-tiap individu, sehingga tatanan kehidupan sosial pun akhirnya harus diusahakan berjalan dengan harmonis, serasi dan seimbang.



###









[1] http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/tonggak-sejarah-baru-indonesia
[2] http://www.tempo.co/read/news/2014/11/21/078623558/Survei-Kepuasan-Masyarakat-terhadap-Jokowi-Merosot
[3] http://news.detik.com/read/2015/04/19/144344/2891514/10/survei-poltracking-485-publik-tak-puas-kinerja-pemerintah-jokowi-jk
[4] http://www.jokowicenter.com/2015/02/langkah-kuda/
[5] Aryaning Arya Kresna,  (2009)  Orang Jawa  dan Ruang Publik Politik, presentasi paper dalam International Conference and Summer School on Indonesian Studies (ICSSIS) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok
[6] ibid
[7] Hildred Geertz,  (1983) Keluarga Jawa, Jakarta, Grafiti Press

* Artikel ini dimuat di Majalah Esquire Indonesia edisi Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Kalau AC ya Daikin...

AC DAIKIN: Sebuah pilihan untuk rasa nyaman dan hemat energi       Kondisi Tropis di Ibukota Jakarta sudah cukup membuat suasana dan li...