KEPEMIMPINAN POLITIK JOKOWI:
SEBUAH TELAAH ANTROPOLOGI
-NANA SUTISNA-
Tonggak Baru Indonesia
Pesta demokrasi dengan
menampilkan pasangan Jokowi dan JK sebagai presiden Republik Indonesia
memberikan banyak analisis dari para ahli terkait dengan kemenagan politik
pasangan ini. berbagai kalangam dari
latar belakang keahlian memberikan sudut pandang dan analisisnya seprti yang
dianalisi oleh Prof hamdi Muluk, pakar psikologi politik yang menelisik terkait
dengan kepribadian pasangan jokowi-JK sehingga memberikan efek terpilihnya
pasangan tersebut. Berbagai ahli pun mencoba memberikan pandangannyata terkait
dengan peran-peran media maupun social media dalam memainkan arus politik yang
ada saat ini, dalam pandangan pakar komunikas politik peranan media dalam
melakukan pencitraan begitu kuat sehingga dapat terus terekam dalam ingatan
public.
Kemenangan politik pasangan
Jokowi-JK membawa harapan baru bagi public untuk melihat Indonesia sesuai
dengan program nawacita Jokowi. Prof Ikrar Nusa Bhakti menilai kemengan Jokowi-JK merupakan tinggak
sejarah baru dengan menilai pada pencapaian karir JOkowi yang diawali dari
walikota, Gubernur dan akhirnya terpilih sebagai Presiden dan begitu pula dengn
JK yang terpilih kembali sebagai wakil presiden.[1]
Dengan kombinasi yang ada pada pasangan
ini menjadikan optimisme public semakin kokoh, dan juga membuka ruang-ruang
harapan baru yang bagi masyarakat. Berbagai macam ekspektasi masyarakat
tertumpah dalam amanatnya yang dititipkan pada presiden yang baru di republik ini.
Dialektika Menjelang
Satu Tahun
Perjalanan kepemimpinan
Jokowi-JK dalam menakhodai bangsa ini terus berjalan hampir satu tahun sejak
dilantik menjadi Presiden dan wakil presiden, namun dalam proses perjalanan
yang baru in pula sudah banyak hal-hal problematic yang harus dihadapi dan
harus diperlakukan secara hati-hati karena kepemimpinan ini merupakan harapan
dan selara baru bagi public. Persolan problematic yang muncul terus kepermukaan
dan menyentuh masyarakat secara luas adalah terkait dengan kenaikan harga BBM ,
konflik aparat penegak hukum antara polisi dan KPK,dan juga persoalan
pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Harapan masyarakat yang begitu
kuat, analisis-analisis yang menggambarkan kekuatan dari pasangan jokowi-JK
mengalamai dialektisnya disaat kepemimpinan hampir berumur satu tahun. Ekpekstasi yang begitu kuat
seakan-akan mulai meredup, seperti yang tercermin dalam survey yang di lakukan
oleh LSI-Denny JA pasca kenaikan harga BBM sekitar 43,82% menyatakan tidak puas
dengan kepemimpinan Jokowi-JK[2],
survey juga dilakukan oleh Poltracking Indonesia yang menggambarkan bahwa
public cenderung tidak puas dengan kinerja pemerintahan jokowi-JK sebesar 48.5
% Angka sebesar 48,5 persen itu gabungan dari penilaian publik yang sangat
tidak puas (5,8%) dan kurang puas (42,7%). Sementara penilaian masyarakat yang
puas sebesar 44 persen yaitu gabungan cukup puas (40,5%), dan sangat puas
(3,5%). Tidak tahu/tidak jawab (7,5%)[3]. Dalam
analisis direktur poltracking Indonesia , Hanta Yudha, bahwa persolan kebijakan
kenaikan harga BBM serta polemik dan konflik antara penegak hukum menjadi
preseden buruk dimasyarakat.
Menjelang
satu tahun kepeminpinan Jokowi-JK menjadi diskursus menarik karena dialetika kepemimpinan jokowi adalah
dialektika soal harapan dan cita-cita dalam proses waktu yang berjalan harapan
public yang begitu besar seakan-akan tergoyahkan dengan berbagai problematik
yang ada. Menimbang antara harapan masyarakat dan gaya serta kebijkan politik yang dilakukan oleh Presiden
Jokowi menjadi sebuah renungan yang
mendalam untuk melihat gaya politik Jokowi
dalam perspektif yang lain.
Kepemimpinan Politik Jokowi:
Telaah Antropologi
Problematika yang hadir dalam
rentang masa satu tahun kepemimpinan Jokowi-JK telah memberikan penilaian
tersendiri dikalangan masyarakat terkait dengan gaya dan kepemimpinan jokowi,
bahkan muncul keraguan apakah kepemimpinan saat ini mampu memenuhi harapan
masyarakat atau public yang luas.Pandangan pada implementasi kebijakan terkait
dengan regulasi harga BBM yang cenderung turun naik, konflik aparat penegak
hukum serta tidak memiliki power politik yang kuat dan aktif, sehingga hal
tersebut memberikan pandangan mengapa
kepemimpinan jokowi dianggap tidak memenuhi harapan masyarakat.
Gaya politik dan kepemimpinan
Presiden Jokowi berbagai kalangan menilai bahwa kekuatannya tidak terlalu kuat
karena struktur dalam internal partai pengusung Jokowi lebih mendominasi dalam
pengambilan keputusan. Namun hal ini menarik jika kita melihat bagaimana
polemic penetapan Kapolri, yang mana telah dibatalkan penetapan Budi Gunawan
sebagai calon kapolri, beberapa pakar seperti DR. Salim Said[4]
menilai langkah Jokowi sebagai langkah Kuda, walaupun ada dominasi internal
namun langkahnya sulit terbaca.
Telisik dari kasus tersebut
diatas bahwa langkah-langkah pengembilan keputusan Presiden Jokowi perlu
dipahami sebagai suatu perilaku budaya yang mana proses-proses berpikir dan
penentuan kebijakan merupakan bentuk implementasi dari cara pandanya terhadap
kekusaan dan kepeimpinan. Oleh karena memahami Presiden Jokowi dalam perspektif
Antropologi politik tidak dapat dilepaskan dari unsur dan konsep kepeminpinan
dan kekuasaan serta nilai-nilai budaya
Jawa yang tertanam dalam dirinya sebagai manusia yang lahir dalam kultur masyarakat Jawa. Memahami orang
Jawa, seperti halnya juga memhami dari masyarakat pada etnis-etnis yang lain,
memiliki pandangan hidup terkait dengan dunia (world view), sehingga pandangan hidup manusia Jawa terhadap dunia
merupakan system filosofis yang menjadi struktur acuan manusia Jawa dalam
menjalani kehidupannya dan berinteraksi secara sosial dengan ruang-ruang public
yang dilakoninya.
Pandanga dunia orang Jawa tidak
memisahkan realitas yang ada dalam kehidupannya, sehingga pemaham akan dunia
dalam pikran Jawa adalah merupakan satu kesatuan. Aryaning Arya Kresna[5]
(2009) menyebutkan bahwa Orang Jawa memahami dunia dan ruang tempatnya berdiam
sebagai entitas yang tidak terpisah dari kesadarannya. Bahkan bukan hanya
menyatu dengan kesadarannya yang terbuka-ke-dalam, eksistensi manusia Jawa
tertelan mentah-mentah oleh alamnya. Sehingga, alih-alih manusia Jawa memahami
dirinya sebagai sebuah “res cogitans”
yang mampu berefleksi tentang
kesadarannya yang berjarak dengan ruang, kesadaran orang Jawa adalah
bagian kecil dari ruang. Eksistensi manusia Jawa menyatu dengan alamnya,
sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan.
Melandaskannya pada bagaimana
orang Jawa memiliki pandangan hidup maka hal inipun terkorelasi dengan
konsepsinya terkait dengan kekuasaan dan kepemimimpinan. Pemaknaan kekuasaaan
dalam masyarakat Jawa dipahami sebagai kekuatan yang menyatu dengan alam,
kekuasaan adalah energy ilahi yang tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi
kosmos, sehingga pemaknaan konsepsi kekuasaan dipahami oleh orang jawa tidak
hanya sebatas pada potensi mempengaruhi tindakan orang lain walaupun orang
tersebut menentangnya atau juga kekuasaan bukan hasil dari relasi individu
dengan individu atau kelompok lain, akan tetapi merupakan energi illahi yang
meresapi kosmos, hal inilah dalam pandangan hidup orang jawa posisi peminpin
(raja/presiden) pusat kosmos sekaligus pusat kekuasaan (Kresna, 2009)[6].
Oleh karena walaupun tekanan internal pengusung dari Koalisi merah putih, namun
sebagai manusia Jawa Jokowi telah terinternalisi nilai-nilai budaya jawa yang
kuat, yang mana pemahaman dan pemaknaan akan kekuasaan akan pula dimaknai oleh
dirinya sendiri sebagai seorang Presiden sehingga cukup tepat jika langkah Jokowi
ini dinilai sebagai langkah kuda.
Karekter budaya Presiden
Jokowi, tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai Jawa yang dinternalisasikan
kepada dirinya. Penelitian Hildred Geertz[7]
(1983) tentang keluarga Jawa mengungkapkan bahwa seoarang anak pada keluarga
Jawa diajarkan untuk selalu hidup harmonis, jika sang anak tidak bertingkah
laku baik maka akan mendapatkan sanksi, pelajaran penting yang harus dikuasai
oleh anak sebagai bagian dari pertumbuhannya ialah bagaimana dan bilamana harus
bertindak-tanduk dengan tata karma. Tata nilai pertama adalah “Hormat” dalam
masyarakat jawa adalah wedi, isin, dan sungkan. Wedi berarti
takut, isin dapat diartikan sebagai
malu, dan sungkan enggan ataupun
canggung. Tata nilai kedua adalah rukun
yakni dapat menjaga keharmonisan dalam
kehidupan sosial dengan memperkecil peluang konflik sosial dan pribadi dalam
bentuk apapun. Usaha untuk mencapai rukun
sering kali menjadi motivasi utama untuk membantu sanak saudara dalam keadaan
sulit. Sehingga dalam masyarakat jawa seringkali kita dengan peribahasa “mangan ora mangan sing penting ngumpul” dalam
bahasa Indonesia dapat diterjemahkan “makan gak makan yang penting kumpul”.
Jika kita maknai peribahasa tersebut terkandung filosofi hidup yang dalam,
dimana mangan (makan) merupakan kebutuhan pribadi, sedangkan
ngumpul (kumpul) adalah kebutuhan
manusia untuk berhubungan dengan sesamanya, merupakan kebuthan bermasyarakat
sebagai makhluk sosial, oleh karenanya filosofis inilah bagian dari penguatan
dan pengejawantahan konsep rukun
dalam masyarakat Jawa. Sejurus dengan pemikiran tersebut, manusia sebagai
mikrokosmos hidup bersama dan secara resiprokal membantu menjaga makrokosmos
sehingga keseimbangan diantara mereka dapat berjalan dengan baik. Sistem moral
sosial ini mengajarkan orang Jawa untuk selalu mendahulukan kepentingan orang
lain dibanding kepentingan diri sendiri, dan berbuat baik, karena seluruh
kehidupan manusia sudah dalam tatanan kosmos menuju suatu tujuan tertentu
(kresna, 2009).
Dengan fakta dan realitas
politik yang melingkari kepeminpinan Jokowi serta karakter Jawa yang membentuk
tata nilai Presiden Jokowi memberikan pemahaman bagaimana langkah-langkah
Presiden Jokowi cenderung kompromistis pada lingkaran terdekat hal ini lebih
untuk menjaga rukun atau harmonisasi
sosial politik pada mitra-mitra koalisi. Namun keharmonisasian ini cenderung dapat disalahpahami sebagai sebuah
ketertekanan politik, karena yang muncul kepermukaan adalah kebijakan-kebijakan
yang kurang populis bagi masyarakat di
mata para lawan politiknya.
Pedoman tata nilai jawa
membentuk karakter pemerintahan Jokowi, sehingga hal-hal terkait dengan proses
berpikir dan pengambilan keputusan dilandasi atas pandangan hidupnya (world view) tentang kekuasaan, kepemimpinan dan juga perilaku dalam
nilai-nilai jawa terkadang sulit memahami langkah-langkah yang akan dilakukan
terkait dengan pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan yang akan
diputuskan karena begitu banyak aspek yang perlu di jaga harmonisasinya. Makrokosmos
dalam pemikiran Jawa dipahami sebagai keberlangsungan hidup pada tiap-tiap
individu, sehingga tatanan kehidupan sosial pun akhirnya harus diusahakan
berjalan dengan harmonis, serasi dan seimbang.
###
.
[1]
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/tonggak-sejarah-baru-indonesia
[2]
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/21/078623558/Survei-Kepuasan-Masyarakat-terhadap-Jokowi-Merosot
[3]
http://news.detik.com/read/2015/04/19/144344/2891514/10/survei-poltracking-485-publik-tak-puas-kinerja-pemerintah-jokowi-jk
[4]
http://www.jokowicenter.com/2015/02/langkah-kuda/
[5]
Aryaning Arya Kresna, (2009) Orang
Jawa dan Ruang Publik Politik,
presentasi paper dalam International Conference and Summer School on Indonesian
Studies (ICSSIS) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok
[6]
ibid
[7]
Hildred Geertz, (1983) Keluarga Jawa, Jakarta, Grafiti Press
* Artikel ini dimuat di Majalah Esquire Indonesia edisi Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar