Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan kerja Pemberdayaan Masyarakat
Oleh:
NANA
SUTISNA[1]
Industrialisasi : Culture
Shock Perspektif
Era
Industrialisasi selalu diidentikan dengan tumbuh kembangnya pabrik-pabrik
dengan skala industri besar dengan menghimpun angkatan-angkatan kerja yang ada,
pemanfaatan dan lompatan teknologi. Namun disisi lain persepsi yang muncul akan
tumbuh kembang industrialisasi selalu “berhadapan” dengan aspek lingkungan dan
harmonisasi sosial.
Kehadiran
Industri dipersepsikan mengubah citra atau pandangan masyarakat bahwa industrilisasi adalah harapan akan
dunia baru, sehingga hal ini menjadikan eksodus besar-besaran terhadap
pilihan-pilihan bidang pekerjaan pada kaum muda atau angkatan kerja produktif
untuk beralih pada bidang industri. Disisi lain kehadiran industri juga kerap
dibenturkan dengan kemunduran lingkungan, semakin menyempitnya lahan pertanian
dan hilangnya biodiversity yang ada di alam terbuka.
Dari
sisi sosio kultural kehadiran industri kerap kali memunculkan keterkejutan
budaya atau “culture shock” bagi
masyarakat yang berada dipusat industrialisasi ataupun yang berada menjadi
wilayah-wilayah penyangga kawasan industri. Culture
Shock[2]
yang terjadi adalah acapkali
berbenturan dengan tradisi local, dan juga sisi kepentingan industrialisasi itu
sendiri. Keterkejutan budaya ini seringkali memunculkan persepsi-persepsi antar
pihak menjadi berlainan, sehingga jika hal ini terus berlangsung akan memuncul
kesenjangan social ( social gap) yang
terjadi di masyarakat.
Kesenjangan-kesenjangan inilah yang pada akhirnya memicu konflik baik
yang bersifat vertical maupun horizoltal.
Persoalan
pembangunan yang memunculkan keterkejutan yang ada di wilayah industri
seringkali memposisikan antar pihak, masyarakat dan perusahaan, saling
berhadapan pada posisi yang kurang harmonis. Kondisi tersebut lah menjadi
catatan tersendiri yang harus dipahami dan disikapi oleh perusahaan sebagai
“warga baru” dalam suasana dan lingkup kebudayaan yang sudah tumbuh dan
berkembang di masyarakat.
Dalam
perspektif lingkungan hidup kehadiran industri kerapkali dilihat sebagai
“agresor” pembangunan yang mendegradasi lingkungan sehingga berdampak pada
permasalahan-permasalahan lingkungan dan seringkali disebut sebagai bencana
ekologis[3].
Oleh karena sorotan pada dunia industri harus lebih ramah terhadap lingkungan
menjadi sangat kuat, dimana praktik-praktik bisnis mensyarakat untuk terus
berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup. Hal tersebut karena hal ini
menjadi landasan bersama pasca KTT Bumi 1992 di Rio de Jenairo menuju
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
Triple
Bottom Line: People, Planet & Profit
Paradigma
single bottom line bergesar menjadi triple bottom line[4].
Konsep triple bottom line di kemukan
oleh Elkinton (1997) mencoba menggambarkan dan mengembangkan istilah economic prosperity, enviromental quality, dan social justice. Elkington memberi
pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan
hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar
keuntungan (profit), perusahaan juga
harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif
dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).[5]
Paradigma
triple bottom line menjadi hal yang
mendasari gerak dari kebijakan, program dan implementasi dengan harapan
terbangun sebuah harmonisasi sosial dan harmonisasi dengan alam yang pada
akhirnya membentuk kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Atas dasar kerangka pikir tersebutlah maka
tanggung jawab sosial (social
responsibility) meruapakan sesuatu yang inherent
harus dilakukan dengan mengacu pada aspek-aspek yang membuat ruang-ruang
mengenai kesejahteraan dan kelestarian menjadi sesuatu yang utama untuk
diimplementasikan.
Tanggung
jawab sosial perusahaan dengan merujuk pada kerangka pikir triple bottom line memacu untuk merancang dan menyusun sebuah
kerangka program yang kreatif didasarkan pada paradigma kesejahteraan (prosperity) dengan mengutamakan manusia
sebagai subjek program karena pendekatan, perencanan, implementasi pembangunan
sosial yang berpusat pada manusia (people
center development) dipercaya menjadi ruh dalam mengisi ruang-ruang
kesejaheraan dan kelestarian.
Perubahan
orientasi serta paradigma terkait dengan implemantasi laju industri menjadikan
pola-pola kerja dalam lingkup industri untuk mengintroduksi
pendekatan-pendekatan sosial dan lingkungan. Perspektif triple bottom line menjadikan kerangka dan pendekatan industri atau
perusahaan untuk sinergi dan selaras mewujudkan pembangunan.
Tanggung
jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) merupakan salah satu alternative pembangunan guna mendukung
pembangunan skala makro yang dilakukan oleh negara atau pemerintah. Dalam implementasi
tanggung jawab sosial perusahaan mempunyai beragam varian, ada yang bersifat
citra, karikatif dan pemberdayaan (empowerment).
Namun, dalam kegiatan yang dilakukakan
bahwa proses-proses CSR diharapkan mempunyai dampak positif jangka pangang dengan
kata lain setiap program ditujukan untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan dari segala aspeknya.
Dunia
usaha atau kalangan bisnis saat ini giat untuk mengaplikasikan tanggung jawab
sosialnya dalam berbagai kategori dan kegiatan yang dilakukan. Implementasi
tanggung jawab sosial perusahaan tidak terlepas dari kerangka pemikiran triple bottom line yang mana
menejawantahkan menjadi suatu program yang memiliki kebermanfaatan dan
keberlanjutan di masyarakat dan juga lingkungan.
Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Orientasi Teoritis
Pemberdayaan
masyarakat sebagai suatu kajian multidisplin keilmuan memiliki paradigma dan
orientasi teoritisnya, hal ini sebagai landasan dalam implementasi serta
rangkaian dalam memahami masyarakat (community)
secara lebih komprehensif. Kompleksitas entitas masyarakat perlu diteliti lebih
mendalam tekait beberapa aspek seperti, aspek sosial-budaya, aspek lingkungan,
aspek teknologi yang dilihat secara integrasi dan holistik. Implementasi program-program
diharapkan dapat memberikan efek pada menguatnya kelembagaan-kelembagaan
masyarakat guna mendorong partisipasi aktif untuk dapat meningkatkan
kesejaheraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Pemberdayaan masyarakat
dalam laksana implementasi program sebagai suatu proses berjalan yang terus
menerus dalam mencipatakan masyarakat yangg proaktif dalam menentukan arah
kemajuan komunitas atau masyarakatnya sendiri. Berikut adalah skema siklus
pemberdayaan dalam pandangan Wilson[6] (1996),
yang subyeknya adalah masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat sebagai
suatu proses menjadikan manusia (baca: masyarakat) sebagai subyek program atau
pelaku utama dalam alur implementasi program pemberdayaan yang dilaksanakan.
Masyarakat sebagai pelaku utama dalam melakukan peran-peran yang dilakukan
dalam setiap fase program yang diimplemtasikan. Dengan melibatkan secara aktif
peran-peran masyarakat maka hal ini diharapkan meminimalisasi tingkat
ketergantungan dan juga “sense of
belongings” terhadap program, karena setiap fase subyek atau pelaku utama
adalah komunitas/masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat memiliki
startegi dan alur terutama pada dimensi masyarakat atau sosiologis, oleh karena
peranannya untuk menyusun implementasi alur pemberdayaan yang dikemukan oleh
Wilson (1996) dan juga dengan perspektif teori perubahan terencana (planed change theory) yang dikemukan
oleh Lippit (1961) yang mengungkapkan bahwa proses utama pemberdayaan
masyarakat terletak pada penyadaran, identifikasi dan pemecahan masalah, serta
perubahan perilaku sebagai respon terhadap persoalan.
Merujuk pada konsepsi pemberdayaan masyarakat tersebut,
maka secara aplikatif dirumuskan menganai tahapan-tahapan atau cara kerja dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat oleh Deliveri (2004), yang memberikan konsep
tahapan kerja pemberdayaan masyarakat; Secara rinci masing-masing tahapan
tersebut adalah sebagai berikut. (A). Tahap 1.
Seleksi lokasi (B). Tahap 2. Sosialisasi pemberdayaan
masyarakat (C). Tahap 3. Proses pemberdayaan masyarakat
a. Kajian keadaan pedesaan partisipatif
b. Pengembangan kelompok
c. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan
d. Monitoring dan evaluasi partisipatif (D). Tahap
4. Pemandirian masyarakat. Tahapan-tahapan pelaksanaan pemberdayaan dapat
digambarkan proses seperti gambar tahapan kerja ini.
[1] Penulis memperoleh gelar kesarjanaannya
pada bidang Ilmu Antropologi Sosial di Universitas Indonesia, Saat ini bekerja
sebagai Community Development Officer di JOB Pertamina Medco E&P Tomori
Sulawesi.
[2] Culture
Shock merupakan istilah yg diperkenalkan oleh Kalervo Oberg seorang ilmuwan Antropologi untuk
mendeskripsikan gambaran terkait kegelisahan individu atau kelompok masyarakat
terhadap suatu budaya yang masuk kedalam lingkungan budayanya. Oberg,
Kalervo (1960), “Culture Shock: Adjusment
to New Cultural Enviroment”. Practical Anthropology .7. (177-188).
[3] Bencana Ekologis merupakan akumulasi
krisis lingkungan yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya pengurusan
alam yang mengakibatkan hancur atau kolapsnya pranata kehidupan social
masyarakat. (WALHI).
[4]
Teori triple bottom line dikemukan oleh
John Elkinton melalui bukunya
yang berjudul “Cannibals with
fork: the Triple Bottom Line of Twentieth century Business” Capstone 1997.
[5] Dikutif dalam http://seorangfilsufmuda.blogspot.com/2013/06/csr-dan-teori-triple-bottom-line.html diakses tanggal 25 September 2014.
[6]
Wilson, Terry (1996) The Empowerment Manual, Growing
Publishing Company, London.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar