AKU ANTROPOLOGI – AKU UI (INDONESIA):
SEBUAH CATATAN-CATATAN HATI (HEART NOTES)
Oleh
NANA
SUTISNA
0900070187
– Antropologi UI/ 2000
“Kami adalah kaum miniaturis dari ilmu-ilmu sosial, yang
melukis pada kanvas-kanvas liliput dengan coretan-coretan yang kami
anggap sangat halus. Kami mengharapkan untuk dapat menemukan didalam yang kecil
apa yang lolos dari perhatian kami didalam yang besar, siapa tahu kami
beruntung menemukan
kebenaran-kebenaran umum sambil menyaring kasus-kasus yang khusus.” (Clifford
Geertz ; 1982 )
Linglung di jalan Antropologi
Era tahun 2000-an bagi
sebagian kalangan pelajar SMA di Jakarta nama antropologi bukanlah sesuatu yang
asing, namun bukan pula menjadi sesuatu yang favorit untuk digeluti secara
mendalam jika dibandingkan dengan ilmu hubungan internasional, ilmu ekonomi dan ilmu hukum. Namun, bagi saya
nama antropologi adalah sesuatu yang unik, sesuatu yang baru saya dengar ketika
ikut bimbingan belajar, karena selama saya sekolah STM (Sekolah Teknik
Menengah)- sederajat dengan SMA - hampir-hampir saya tidak pernah mendengar nama
antropologi, sesuatu yang asing dan tak pernah terbayangkan. Selama tiga tahun
itu selalu berkutat dengan kayu, semen dan batu bata yang merupakan menjadi hal yang dipelajari oleh saya sebagai
siswa STM jurusan bangunan gedung. Bagi saya melanjutkan ke jenjang selanjutnya
dan menjadi arsitek adalah pilihan paling rasional.
Berbekal pengetahuan anak STM
yang ikut bimbingan belajar, saya memberanikan diri untuk memilih antropologi
pada pilihan kedua Setelah pilihan rasional saya di arsitek pada Universitas
Indonesia. Memilih antropologi bukanlah karena pilihan-pilhan rasional dan
tentang cita-cita masa depan tapi lebih kepada “unik”, aneh, dan baru pernah
dengar, dan tingginya harapan untuk menjadi bagian dari keluarga jaket
kuning-UI. Selang waktu berlalu ternyata Tuhan memberikan saya kejalan yang
unik, jalan antropologi. Suatu tahapan baru bagi harapan saya, dan saatnya
mengubur mimpi membangun konstruksi bangunan fisik karena Tuhan telah
menunjukan kuasanya, saatnya menatap “jalan” baru, jalan antropologi.
Hari-hari baru menapaki
jalan-jalan antroplogi menjadikan diri saya menjadi “aneh” menjadi limbung atau linglung kata orang sunda, kata–kata baru mulai merasuki pemikiran
saya, kebudayaan, etnik atau sukubangsa, struktur sosial, etnografi, serta
munculnya “orang-orang baru” dalam cakrawala pemikiran saya mulai dari
Radcliffe Brown, Franz Boas, Malinowski, Cliford Geertz hingga Koetjaraningrat.
“perkenalan” saya dengan antropologi boleh dikatakan tidaklah mulus karena saya
sulit sekali mencerna dan memahami “jenis” bangunan ilmu apakah antropologi
ini, jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatan saya yang latar belakang
sekolahnya dari jurusan sosial dan bahasa.
Kelinglungan saya ini membuat
saya melarikan diri dari antropologi, lebih banyak menampakan diri sebagai
“anak UI” dibandingkan sebagai “mahasiswa antropologi”. Mencoba aktif di
berbagai aktif di organisasi mahasiswa hanya karena ingin dikenal sebagai “anak
UI” yang bisa ikutan aksi, bisa ikutan teriak, namun disisi lain alpa akan
jalan unik yang ditapakinya, jalan antropologi. Dua tahun dalam kelimbungan
sebagai mahasiswa antropologi, akhirnya saya menemukan “sentuhan antropologi”
ketika saya dapat untuk terlibat dalam pelatihan penelitian dan pendampingan
masyarakat hutan bersama dengan DR. Iwan Tjitradjaja di daerah Lampung yang
tergabung di P3AE (program pengembangan dan Pengkajian Antropologi Ekologi-UI).
Kegiatan tersebut sebetulnya diperuntukan bagi mahasiswa yang sudah mengambil
mata kuliah Metode Penelitian Antroplogi, sedangkan saya baru lepas dari mata kuliah
pengantar-pengantar dan sistem-sistem, karena senior saya berhalangan, saya
yang dipilih untuk menggantikannya dan bagi saya ini adalah celah untuk
menyelam lebih dalam ke antropologi.
Proses titik balik
antropologi inilah saya temukan di Lampung bersama tim antropologi ekologi.
Menemui, berinteraksi serta komunikasi dengan masyarakat ternyata tidak semudah
yang dibayangkan. Memetakan, menganalisa serta menuliskan masyarakat ternyata
lebih indah daripada membuat sebuah gambar teknik diatas kertas kalkir. Dititik
inilah saya mulai merasakan bahwa saya akan membuat “arsitektur” rumah yang
lebih indah, yang dapat menjadi sumber utama penyelesaian masalah atapun
konflik yang terjadi di Indonesia. Pengalaman sebagai pemula di Provinsi
Lampung inilah yang pada akhirnya membawa saya untuk “menginap” di berbagai
lokasi di Indonesia; Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi serta gang-gang sempit di
pedalaman Ibukota Jakarta. Komunitas-komunitas itulah yang saya temui yang
menjadikan saya menemukan antroplogi secara faktual, hidup dan dapat saling
berinteraksi. Pada titik inilah saya mulai merasa bahwa saya adalah “Anak
Antropologi” yang berkuliah di UI, saya adalah “Mahasiswa Antropologi” yang ada
di FISIP UI.
Menemukan Kembali Antropologi
Seiring berjalannya waktu
serta intensifnya pertemuan dan perkuliahannya dengan para “pendekar antropologi’
pasca Koentjaraningrat, yang pada akhirnya membentuk beragam warna pemikiran
antropologi, antara lain adalah Prof. Parsudi Suparlan dengan antropologi agamanya,
Prof. James Danandjaja dengan Foklorenya, Prof Amri Marzali, dengan peasant dan pembangunan masyarakat desa,
Prof Meutia Hatta dengan sistem budaya, Prof. Ahmad fedyani dengan kekarabatan
dan multikulturalismenya, DR. Iwan Tjitradjaja dengan kesempatan praktik live in dan antropologi ekologinya serta
beberapa “pendekar” muda antropologi lainnya yang membuat saya “betah” dan
ingin memberikan jejak kaki antropologi saya dimanapun itu saya jejakan.
Dari sekian pengalaman
interaksi dengan para “pendekar antropologi” ada sebuah pengalaman yang menjadi
rajutan saya untuk menemukan kembali antropologi adalah mendampingi Prof,
Parsudi Suparlan, saya ada keinginan tapi juga ada ketakutan ketika harus
berinteraksi degan beliau. Hampir seluruh kuliah dengan Prof Parsudi Suparlan
saya menjadi assistennya, sesuai dengan surat tugas yang saya terima dari
Jurusan Antropologi, namun bagi Prof Parsudi Suparlan, saya selalu dianggapnya
sebagai “ketua kelas”, menyiapkan fotokopian bahan kuliah, absensi mahasiswa,
dan menjaga ujian saat UTS dan UAS adalah hal yang rutin saya lakukan, berbekal
dari dari sana “mungkin “saya mahasiswa S1 yang masih diberi kesempatan
merasakan dibimbing mengerjakan skripsi oleh Prof. Parsudi Suparlan walaupun
tidak tuntas karena kondisi kesehatan beliau dan juga saya ada “tekanan” harus
lulus cepat. Bimbingan dengan Prof.Parsudi Suparlan untuk membahas “ masalah
penelitian” dan “permasalaan penelitian” saja dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan
plus “dimarahi” dan ditertawai ala kuntilanak, hihihihi (mahasiswa 2000-an
pasti ngerti
ini).
Pengalaman menjadi “ketua
kelas” dibeberapa mata kuliah Prof. Parsudi Suparlan yang paling membekas
adalah 5 batang gudang garam merah habis berarti kelas selesai
(hehehe…bercanda). Metode antropologi, live
in, rapport, dan going native adalah hal yang ditanamkan,
sehingga ini menjadi senjata pamungkas bagi saya ketika melakukan
penelitian-penelitian lapangan. Walaupun proses –proses menjadi native tidaklah mudah ketika dilakukan
dilapangan. Tantangan, Dogma, Gengsi, higienitas serta asmara sering kali menjadi
penghalang dalam pikiran serta ketika mempraktikannya menjadi sulit dan kaku.
Selama melakukan kerja
lapangan ada dua lokasi penelitian yang memberikan jalan bagi ditemukan
antropologi sebagai keilmuan ataupun sebagai inspirasi untuk mengubah diri
pribadi dalam pembentukan keberfikiran dan juga tata kelakuan ini. Dua lokasi
peneltian tersebut adalah pedalaman hutan Lampung dan bantaran sungai ciliwung
Jakarta.
Lampung, tepatnya di lokasi
taman hutan raya wan abdurahman, sebuah pengalaman lapangan bagaimana
berinteraksi dengan lingkungan (ekologi), inilah pengalaman pertama melakukan
kerja-kerja lapangan. Egoisme kota dihadapkan dengan fakta kampong ditengah
hutan, berdebar-debar hati ini ketika naik ojek melalui jalan setapak yang
pinggirannya adalah jurang, sekali salah ambil lintasan maka akan jumpa di
dunia lain. Pengalaman transportasi ojek “crosser” pinggir jurang bagi saya
adalah pengalaman lura biasa, dimana aksesibilitas,fasilitas public dan
transportasi harus berdamai dengan kontur ekologi, sekali kita memperlakukan
alam dengan semena-mena tak akan ada lagi fasilitas yang disediakan oleh alam.
Refeksi metodologi pada kerja
lapangan di Lampung ini adalah melihat bagaimana piawainya antropolog, DR iwan
Tjitradjaja, memandu sebuah forum diskusi multistakeholder, buat saya yang
pemula ini menjadi pembelajaran yang luar biasa bagaimana pemahaman akan
kebudayaan,pemetaan stakeholder dan jaringan sosial menjadi kunci memahami dan
memandu multistakeholder forum menjadi lebih efektif, focus dan terarah pada
penyelesaian masalah. Disinilah pengalaman antropologi saya terwujud dan
menjadi penanda untuk membuka dan membaca lembaran-lembaran keantropologian, terutama terkait dengan
metodologi dan juga interaksi antar komunitas yang berbeda latar belakang
budaya.
Pengalaman antropologis yang
lain juga saya alami adalah ketika melakukan penelitian lapangan dibantaran sungai
ciliwung Jakarta, pada masyarakat yang tinggal disepanjang bantaran sungai
Ciliwung Kampung Melayu, Jakarta. Pengalaman penelitian ada masyarakat
perkotaan cenderung membuat saya lebih mudah untuk “bergaul” dikarenakan tata
kehidupannya memiliki kemiripan serta status mahasiswa memberikan kemudahan
tersendiri. Secara implementatif metode-metode antropologi saya aplikasikan
dilapangan guna mendapatkan data-data etnografi yang mendalam, hasil penelitian
lapangan mampu memahamai masyarakat secara holistic.
Hal yan ingin coba saya
ungkapkan adalah dalam pengalaman kerja lapangan di bantaran sungai Ciliwung
ini bukanlah pada sisi kajiannya, namun fenomena tim lapanggan dimana salah
satu anggota peneliti sangat “dekat” dengan informan, sehingga diyakini sulit
untuk menganalisa secara obyektif temuan-temuan lapangan. “asmara lapangan” antara peneliti dengan
informan merupakan salah satu pengalaman yang saya temui dan alami, walaupun
sebetulnya kisah-kisah “asmara” ini sering saya dengar dari para
kerabat-kerabat senior antropologi.
Ketika dihadapkan pada
kenyataan lapangan, bahwa cerita kisah-kasih antara peneliti dengan yang
ditelitinya, merupakan sebuah keniscayaan dengan metode penelitian yang
antropologi terapkan. Dimana proses memahami suatu komunitas atau kebudayaan
dilakukan secara pengamatan terlibat , saya lebih senang menyebutnya
partisipasi total sehingga menghilangkat sekat dan jarak antara antropolog
dengan informannya. Tantangan terbesar
dalam persoalan diatas pada metodologi
serta analisa data, namun inilah yang membuat saya kenal bahwa antropologi itu
jalan yang “unik”, jalan memahami diri
sendiri lewat orang lain atau dalam bahasa yang lain saya “mengamini” Prof. PM
Laksono bahwa kebudayaan itu adalah “tahu sama tahu” dalam ceramah antropologinya yang saya dengar di
acara Koetjaraningrat Memorial Lecture. (tahunnya lupa)
Refleksi: Antropologi sebuah pondasi arsitektur kebhinekaan Indonesia
Catatan, oretan serta
menapaki jalan antropologi sedikit banyak memberikan cakrawala baru dalam
kerangka berfikir saya dalam memahami realias dunia saat ini. Perjumpaan serta interaksi saya dengan para
“pendekar” antropologi menambah luas pemahaman saya dalam memahami antropologi
sebagai disiplin keilmuan maupun sebagai kerangka pikir dalam memamhami dunia
dari salah satu sisinya. Sampai saat ini
hati saya bangga menjadi bagian dari orang-orang yang pernah menimba ilmu antropologi,
dan selalu menampilkan untuk mengakui disiplin keimuwan saya adalah antropologi
Konsep-konsep antropologi
seperti, kebudayaan, Sukubangsa, sistem kekerabatan, dan masih banyak lagi konsep elementar dalam
ilmu antropologi yang dapat menjadi pondasi bangunan ataupun arsitektur sosial
budaya. Konseptual antropologi dapat menjadi rancang bangun kebudayaan
nusantara sebagai sarana dan wahana untuk saling mengenal dan memahami
Indonesia sebagai sebuah bangsa melalui antropologi. Kekayaan lain dari antropologi
terletak pada kuatnya metodologi dan laporan etnografinya, pengalaman
pengalaman lapangan mengajarkan dan juga memberikan inspirasi bagi terwujudnya
sebuah tatanan sosial yang harmonis. saya ingin mengutif penyataan Antropolog
dari Namibia, Robert Gordon, yang dituliskan kembali oleh William A. Haviland (1999) dalam buku
Antropologi 1 “Kalau ilmuwan sosiologi
atau politik dapat mengamati keindahan bunga tangkai demi tangkai, maka ahli
antropologi adalah orang yang berdiri di puncak gunung dan memandang
keindahan medan”. Dengan kata lain perkataan kita
mencoba untuk memperoleh persektif yang lebih luas (holistic Perspective). (William A. Haviland)
Kekuatan antropologi bagi
saya adalah metode etnografinya, sehingga hal-hal “diluar pikiran” akan
mempengaruhi pribadi kita sebagai manusia melalui temuan-temuan etnografinya. Seperti
apa yang diungkapkan oleh James P Spreadley (1997)“Kalau Anda hanya melihat riak gelombang,
Etnografi menyelami dalamnya dasar lautan !”. Inilah yang menjadi refleksi tersendiri, bahwa
keberagaman adalah keniscayaan dan Indonesia adalah lautan terdalam
antropologi.